Perlu sikap legowo mau dikoreksi. Jangan cuma rajin mengoreksi pihak lain, tapi dirinya dan kelompoknya tidak mau dikoreksi. Sekalipun sebagai pemegang kekuasaan, jabatan, lebih – lebih pengambil keputusan.. – Harmoko -
NEGARA kita yang menganut Demokrasi Pancasila, senantiasa mengembangkan sikap saling mengoreksi, saling mengingatkan untuk kebaikan dan kemajuan bersama. Sayangnya, belakangan ini di ruang publik terlihat banyak yang rajin - rajin mengoreksi, tetapi ogah, malah marah ketika dikoreksi. Berbagai upaya sering dilakukan agar terbebas dari koreksi, dengan mencari pembenaran dan dukungan bahwa kebijakan yang digulirkan adalah baik, meski jauh dari harapan rakyat.
Padahal budaya saling mengoreksi yang penuh etika perlu kita jaga dan rawat bersama sebagai jati diri bangsa yang sudah ada dan diterapkan sejak dulu kala oleh para leluhur kita, sebelum negeri ini berdiri.
Sikap tidak mau dikoreksi mencerminkan kesombongan, tak ubahnya “adigang, adigung, adiguno”- senantiasa mengandalkan kekuatan, kekuasaan dan kepintarannya. Sebuah perilaku yang jelas – jelas bertentangan dengan nilai – nilai luhur falsafah bangsa, Pancasila.
Sikap tidak mau dikoreksi, juga mencerminkan ketidakjujuran. Sementara setiap manusia, lebih – lebih para elite, pemimpin di level manapun wajib mengedepankan kejujuran, jika hendak membangun negeri yang aman, sentosa, damai dan sejahtera.
Sikap tidak mau dikoreksi akan membawa kebenaran palsu, kebenaran yang dipaksakan menurut versinya, kelompoknya, koleganya demi kepentingannya, tetapi tidak dengan masyarakat banyak. Inilah yang disebut “pembenaran” bukan “kebenaran”.
Kita, boleh jadi prihatin menyaksikan di ruang publik, sering tampil upaya pembenaran atas sebuah konten, isu, pernyataan menggiring kepada satu dukungan. Jika terkait hal positif, tak lepas dari upaya pencitraan, kalau isunya negatif, tak jauh dari pembunuhan karakter terhadap lawan politiknya.
Jika kondisi ini terus dibiarkan akan membawa perselisihan yang tak berujung pangkal. Gerbong dukungan bertambah, tetapi tak tahu arah dan tujuan, terombang – ambing dalam pusaran ketidakpastian yang setiap saat dapat terperosok jurang, tak ubahnya ketidakpastian global yang penuh dengan beragam ancaman.
Itulah perlunya sikap legowo mau dikoreksi. Jangan cuma rajin mengoreksi pihak lain, tapi dirinya dan pihaknya tidak mau dikoreksi. Sekalipun pemegang kekuasaan, jabatan, lebih – lebih pengambil keputusan, tetap harus sadar, mau mawas diri untuk dikoreksi seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Dengan mawas diri agar tahu posisi kita sekarang ada di mana? Apa yang sudah dilakukan, hasilnya seperti apa, kekurangannya di mana dan apa yang harus segera dilakukan menghadapi berbagai ancaman.
Apa yang harus diperbuat, di tengah situasi yang semakin sulit. Setidaknya “tiga hantu” ekonomi sudah di depan mata, yakni lonjakan laju inflasi, suku bunga tinggi, pertumbuhan ekonomi yang rendah. Belum lagi “hantu politik” yang ada di sekeliling kita dengan memainkan segala manuvernya jelang pilpres dan pileg.
Filosofi mengajarkan mawas diri adalah obor dalam mencapai keselamatan. "Sregep mawas diri ateges bakal weruh marang kekurangan lan cacade dhewe, wusanane tukul greget ndandani murih apike" - Rajin mawas diri akan mengetahui kekurangan dan cacat diri sendiri sehingga timbul kehendak untuk memperbaiki.
Hanya saja, mawas diri memerlukan kejujuran. Jujur mengoreksi terhadap kesalahan -kesalahan yang sering diperbuat, kekurangan yang perlu diperbaiki. Tanpa kejujuran, koreksi diri hanyalah kamuflase belaka tiada guna, jauh dari manfaat. Artinya tidak perlu menutupi kesalahan.
Jika kebijakan soal pangan belum transparan, minyak goreng masih menjadi masalah, stok belum terjaga, harga yang masih tinggi, tidak perlu alergi untuk memperbaiki.
Tidak harus mencari pembenaran mengapa kebijakan masih silih berganti. Tidak perlu ditutupi koordinasi antar-kementerian terkait yang belum solid. Belum lagi koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah, dan daerah satu dengan lainnya.
Era sekarang kian dibutuhkan masing – masing pihak saling berkolaborasi, saling mengoreksi untuk perbaikan saat ini dan ke depan. Pihak yang dikoreksi harus terbuka menerimanya, lalu introspeksi untuk memperbaiki. Begitu pun koreksiannya, harus dilakukan semata-mata untuk perbaikan, bukan mencari – cari kesalahan.
Ingat! mengoreksi untuk perbaikan, bukan menjerumuskan, bukan menyembunyikan, bukan pula membumi hanguskan. Tak perlu heboh kebijakannya dikoreksi. Siapapun dia yang mengoreksi.
“Jangan pula bertanya siapa yang mengoreksi, tetapi hendaknya mawas diri, mengapa mereka mengoreksi.” Mari kita mulai. (Azisoko)