“Anak muda butuh keteladanan, bukan pernyataan. Keteladanan yang dibutuhkan bukan sebatas kata dan perbuatan yang dipertontonkan. Tetapi hasil karya nyata yang sudah teruji manfaatnya. Menyangkut pula rekam jejak.”
-Harmoko-
Hampir pasti, semua parpol, kandidat capres-cawapres, caleg dan kandidat kepala daerah akan memburu pemilih muda.
Jawabnya sudah jelas, pada pemilu serentak tahun 2024, jumlah pemilih muda yang terbesar.
Lebih separuh dari total pemilih.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan pemilih Gen Z yang lahir antara tahun 1995 hingga 2000-an, tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 46.800.161 atau 22,85 persen.
Pemilih generasi milenial yang lahir antara tahun 1980 hingga 1994, sebanyak 66.822.389 atau 33,85 persen.
Jika kedua generasi tersebut disatukan jumlahnya mencapai 113.622.550 atau 56,45 persen dari total pemilih yang sebesar 204.807.222 orang.
Dengan menggaet suara pemilih muda, terpampang peluang memperoleh kemenangan.
Itu logika politik yang tidak terbantahkan, tetapi hasilnya tak selalu linier.
Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, di antaranya sikap para elite politik yang belum sepenuhnya mampu merespons kebutuhan kaum muda di era kekinian.
Lebih tepatnya perilaku elite politik yang belum memberikan keteladanan bagaimana berpolitik yang menyejukkan.
Atraksi politik yang mengedepankan upaya menjatuhkan seseorang, lawan politik, maunya menang sendiri, benar sendiri, cenderung menyerang dengan berbagai cara, bisa mengurangi ketertarikan kaum muda dalam politik elektoral.Jika tidak disebut apolitis.