“Jika sudah menyangkut kepentingan bangsa dan negara, maka ego pribadi, kelompok dan sektoral serta dan ego-ego yang lain harus melebur menjadi ego yang lebih besar lagi, yakni ego nasional,” - Harmoko -
ERA kini, kian menyaksikan keberagaman masih menjadi embrio pemicu terjadinya konflik, permusuhan, dan kebencian satu sama lain. Meski konflik tidak semata berlatar belakang perbedaan, tetapi dapat menghambat terciptanya kebersamaan sebagai penguat tali persatuan dan kesatuan.
Kolaborasi sebagai upaya membangun kebersamaan, kadang hanya tegas dan tuntas di atas kertas, tetapi kandas dalam pelaksanaan. Kuat di level atas (pengambil kebijakan), lemah di bawah.
Ini terjadi karena belum sepenuhnya legowo menanggalkan ego pribadi dan kelompok. Masih terjebak dengan ego sektoral yang terpecah dalam pembagian kekuasaan baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Kita tahu, pembagian kekuasaan diwujudkan dengan hadirnya kementerian/lembaga yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan dengan tugas dan wewenang yang berbeda.
Tak sedikit memiliki kemiripan, yang tak jarang pada akhirnya memunculkan ego sektoral, jika dibutuhkan koordinasi dan kolaborasi dalam program pembangunan. Sebut saja pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, perizinan industri, pertambangan dan investasi, yang tak jarang terkendala ego sektoral.
Ego pribadi, kelompok dan sektoral sepertinya kian meluas, tak hanya di bidang pembangunan ekonomi, industri dan perdagangan, juga di bidang politik dan penegakan hukum. Menutup informasi dan komunikasi, tanpa transparansi dengan alasan menjadi tugas dan kewenangan institusinya, akan menimbulkan rasa saling curiga dan menurunkan kepercayaan.
Ketertutupan informasi akan memantik ego sektoral kian menjadi mengingat ego sektoral mencuat akibat adanya kepentingan terhadap sesuatu yang melibatkan kelompok tertentu. Sering kali ego muncul setelah kelompok tertentu mengalami tekanan atau mencari keuntungan demi kelompoknya. Semakin mengkristal jika mendapat dukungan kekuasaan.
Jika sudah demikian, pembangunan menjadi terhambat, tumpang tindih kebijakan, saling menyalahkan yang berujung kepada terganggunya pelayanan publik. Rakyat juga yang menerima dampak buruknya.
Mestinya jika sudah menyangkut kepentingan bangsa dan negara, semua bentuk ego harus disingkirkan, kemudian melebur menjadi ego yang lebih besar lagi, yakni ego nasional dengan komitmennya mewujudkan masyarakat adil makmur.
Jika sudah melebur dalam keluarga besar yang disebut bangsa, maka kepentingan nasional di atas segalanya. Kita hidup bersama dalam satu perahu besar yang disebut “Indonesia” untuk berlayar mencapai satu tujuan.
Tentu hidup bersama bukan dalam artian fisik, tetapi bersama dalam kebersamaan. Didalamnya terdapat sikap toleransi, tepo seliro, tenggang rasa, saling peduli, saling berbagi dan menghargai. Bukan saling mempertentangkan dan menyalahkan. Lebih – lebih mencari – cari kesalahan seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.