“Dituntut keteladanan para elite untuk menepati janji, kontrak politiknya. Hendaknya jangan menganggap dan menjadikan janji hanya sebagai penuntut tanggung jawab moral, tetapi memenuhi adalah kewajiban.”
-Harmoko-
Kita sering mendengar istilah politik dagang sapi, ongkos politik, mahar politik, dan money politic yang semuanya mengacu kepada sebuah kesepakatan antara dua pihak, bisa juga banyak pihak.
Kita juga mengenal istilah “kontrak politik” yang lagi ngetren.
Kata yang tak asing lagi, setiap jelang pemilu, pilpres maupun pilkada.
Itulah sebabnya, budaya kontrak politik, lazimnya melibatkan elite partai dengan kandidat, antara kandidat dengan sponsor politik untuk memenangkan kompetisi, dengan segala kompensasi yang ikut menyertainya.
Makna yang dapat kita tangkap, dalam budaya kontrak politik tak ada yang gratis alias cuma-cuma.
Tak melulu soal finansial, bahkan dalam kontrak politik lebih mengacu kepada kompensasi power sharing.
Tak hanya di bidang politik dan pemerintahan, bisa jadi di sektor ekonomi, sosial dan budaya.
Yang hendak saya sampaikan bahwa kontrak politik sulit terbantahkan dalam dinamika demokrasi sekarang ini.
Dengan sistem pemilihan langsung sejak era reformasi akan membuka peluang terjadinya kontrak politik.