Pemerintahan baru mendatang hendaknya mengedepankan kebijakan “5 Pro”, yakni pro rakyat miskin, pro keadilan, pro penciptaan lapangan kerja, pro lingkungan dan pro kemandirian. Tulisan dimaksud akan disajikan secara berseri di kolom ini. (Azisoko)
“Masalah ketenagakerjaan sangatlah kompleks, untuk mengurainya pun cukup
rumit, serumit masalah yang melingkupinya. Negara wajib hadir melindungi
warganya dengan memberikan seluas mungkin kesempatan bekerja.”
-Harmoko-
Terdapat korelasi kuat antara kemiskinan dan pengangguran, tak jarang yang menyebutkan, keduanya memiliki hubungan sebagai sebab akibat. Terbatasnya
lapangan kerja yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran menjadi
salah satu faktor penyebab kemiskinan. Sebaiknya, dampak kemiskinan akan membuat angka pengangguran semakin besar.
Mengapa bisa terjadi? Jawabnya pada masyarakat miskin memiliki keterbatasan
mendapatkan akses pendidikan, jika tidak disebut, sangat sulit. Sulitnya mendapatkan akses pendidikan membuat mereka kurang memiliki keterampilan memadai sebagai bekal mendapatkan pekerjaan. Tidak terbantahkan, angkatan kerja terbanyak yang tersingkir dari persaingan pasar kerja adalah kelompok masyarakat miskin karena rendahnya tingkat pendidikan.
Ini dapat terlihat dari angka pengangguran tertinggi berpendidikan rata – rata setingkat sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas yang jumlahnya lebih besar, dua kali lipat dari angka tingkat pengangguran terbuka perguruan tinggi yang sebesar 8,41 persen. (Data BPS Februari 2023).
Cukup beralasan jika kebijakan pemerintah hasil pemilu 2024, lebih pro kepada
penciptaan lapangan kerja kepada lulusan sekolah menengah dan kejuruan. Bukan
saja karena jumlah angka pengangguran dari kelompok ini sangat besar, juga mereka adalah usia produktif.
Tak kalah pentingnya menyiapkan lapangan kerja bagi lulusan perguruan tinggi yang jumlahnya semakin besar, sementara kesempatan kerja kian terbatas. Kedua kebijakan ini perlu menjadi prioritas, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat, memakmurkan rakyat, setidaknya mengatrol kelas bawah menuju
menengah, dan dari posisi menengah menuju menengah atas.
Inilah yang disebut memberikan kail, bukan ikan dalam upaya mengentaskan kemiskinan seperti disinggung pada tulisan seri pertama. Bantalan sosial yang diberikan secara periodik kepada warga miskin, hendaknya bersifat emergency dan sementara, tidak sepanjang masa.
Patut diapresiasi angka pengangguran yang terus menurun dalam tiga tahun terakhir setelah mencapai puncaknya di awal pandemi Covid-19 sebanyak 9,77 juta orang pada Agustus 2019.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 7,86 juta orang pada Agustus 2023. Jumlah ini berkurang
sekitar 560 ribu orang atau 6,77% dibanding Agustus 2022.
Meski terus menurun, tetapi angka ini masih lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi. Pada Februari 2019, angka pengangguran tercatat 7,05 juta orang. Menurunkan angka pengangguran dengan memperbesar dan memperluas penyerapan tenaga kerja, masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah baru
mendatang.