Oleh Yulian Saputra, Wartawan Poskota
HARGA minyak goreng dan minyak curah di berbagai daerah terus melambung dalam sepekan terakhir. Bahkan stok di tingkat distributor cukup terbatas.
Di DKI Jakarta, kenaikan terjadi sebesar 2,25 persen dari harga normal. Pada September 2021 harga minyak goreng berada pada angka Rp15.749 per kg.
Namun, memasuki penghujung Oktober 2021, harga rata-rata minyak goreng curah naik menjadi Rp16.600-Rp17.400 per kg. Di sisi lain, minyak kemasan bermerek 1 naik Rp100 menjadi Rp17.300. sedangkan, minyak kemasan bemerek 2 naik menjadi Rp16.800 per kg.
Harga rata-rata minyak goreng pun naik di pasar modern, melonjak sekitar Rp250 menjadi Rp17.450 per kg untuk minyak goreng curah. Selain itu, minyak kemasan bermerek 1 naik Rp50 menjadi Rp17.650. Minyak kemasan bermerek 2 pun turut naik Rp100 menjadi Rp18.500 per kg.
Pada tingkat perdagangan grosir, harga minyak goreng rata-rata pun naik Rp150 menjadi Rp15.450 per kg. Minyak kemasan bermerek 1 naik Rp200 menjadi Rp16 ribu dan minyak bermerek 2 melonjak Rp250 menjadi Rp15.400 per kg.
Di tiap daerah, harga minyak goreng pun bisa berbeda di pasaran. Harga minyak di pasar tradisional diketahui paling tinggi ada di Gorontalo mencapai Rp19.150 per kg. Harga terendah dipasarkan di Kepulauan Riau Rp15.850 per kg.
Di tingkat grosir, harga minyak tertinggi dipasarkan di Sumatra Selatan Rp17.600 per kg. Harga terendah ada di Kalimantan Selatan Rp13.800 per kg.
Tentu saja, masalah kenaikan harga ini tidak hanya dikeluhkan konsumen rumah tangga sebagai pengguna minyak goreng. Konsumen industri terutama industri pengolahan makanan skala kecil dan menengah pun ikut merasakan dampaknya.
Banyak pelaku usaha makanan skala UMKM yang kesulitan dengan naiknya harga minyak goreng. Sebut saja pedagang kerupuk, pedagang gorengan dan PKL pecel ayam atau pecel lele dipastikan limbung akibat kenaikan harga minyak goreng. Mau menaikkan harga jual tidak mungkin karena daya beli masyarakat belum pulih.
Bukan hanya berdampak ke ekonomi, kenaikan harga minyak goreng juga bisa berdampak negatif keesehatan. Sebab, warga bisa saja memakai minyak goreng berulang-ulang lantaran untuk membeli yang baru harganya sudah melonjak naik.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan mengatakan kenaikan harga yang terjadi pada minyak goreng memang mengikuti mekanisme pasar. Lonjakan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas Crude Palm Oil (CPO).
Senada dengannya, Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga menuturkan, pandemi membuat produksi di lapangan serba tak menentu. Pada kenyataannya, permintaan di pasar lebih tinggi dibandingkan dengan ketersediaannya. Akhirnya, pasokan minyak dunia pun berkurang dan harganya melambung.
Namun, pengamatan lain diungkapkan Anggota Komisi IV DPR, Andi Akmal Pasluddin. Terlepas dari adanya pengaruh harga komoditas CPO, Andi justru meminta Satgas Pangan untuk menindak tegas mafia dan kartel di sektor kebutuhan pokok yang diduga turut andil dalam memainkan harga minyak goreng hingga melambung sejak sepekan terakhir ini.
Hal itu, katanya, ditunjukkan dari masih banyaknya minyak goreng dalam negeri diekspor ke luar negeri. Sehingga menjadi aneh jika minyak goreng menjadi langka dan harga melambung.
Terkait itu, sudah seharusnya Kemendag turun tangan dalam menata harga minyak goreng dan menjaga jangan sampai harganya semakin melambung. Jangan juga semata-mata menyerahkan harga kepada mekanisme pasar sesuai fluktuasi harga CPO.
Kemendag harus segera memberikan solusi dengan menentukan harga minyak goreng sesuai kantong konsumen rumah tangga hingga pedagang gorengan. (*)