OLeh: Fernando Toga, Wartawan POSKOTA
CORONA virus disease 2019 (Covid-19) yang pertama kali ditemukan di Wuhan pada akhir 2019, dan pemerintah Indonesia secara resmi mengkonfirmasi kasus Covid-19 masuk ke Indonesia pada Senin 2 Maret 2020.
Berdasarkan data yang dikutip dari covid19.go.id, pada Sabtu (6/11/2021) angka kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 4.247.721 kasus, dengan angka kesembuhan 4.093.208, dan angka kematian mencapai 143.534.
Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah mulai dari pembatasan kegiatan masyarakat hingga menggencarkan vaksinasi agar cepat terbentuknya kekebalan massal.
Kebijakan pemerintah yang mengharuskan pelaku perjalanan dengan menggunakan angkutan udara wajib melampirkan tes PCR (polymerase chain reaction) sebagai syarat penerbangan.
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk tes PCR sempat menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Ia pun meminta sejumlah stakeholder untuk dapat menekan harga tes tersebut yang sebelumnya diangka Rp2,5 juta hingga Rp3, 5 juta, kini hanya berkisar diangka ratusan ribu.
Kegaduhan akibat mahalnya harga tes PCR sempat meramaikan pemberitaan di media massa lantaran adanya pihak yang diduga mengambil untung dari bisnis tes PCR ini.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, bersama menteri BUMN, Erick Thohir diduga mengambil keuntungan dari bisnis tes PCR.
Luhut dan Erick Thohir diketahui memiliki saham secara tak langsung melalui dua perusahaan tambang yang terafiliasi dengannya di perusahaan penyedia PCR yakni PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI).
Bahkan Luhut dan Erick menegaskan bahwa mereka tak pernah sedikit pun mengambil keuntungan dari bisnis PCR tersebut. Mereka mengklaim, perusahaan PT GSI banyak berperan dalam menyediakan tes PCR gratis untuk membantu masyarakat.
Untuk menghindari opini yang semakin melebar, sebaiknya Badan Pemeriksaan Keungan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengusut dugaan keterlibatan dua penyelenggaraan negara berupa pembantu presiden dalam bisnis PCR.