Perjuangan OYPMK, Antara Persoalan Kesehatan dan Sosial

Senin 30 Jan 2023, 21:00 WIB
Masyarakat  ramah disabilitas dan kusta (Sumber: Permata Sulsel)

Masyarakat ramah disabilitas dan kusta (Sumber: Permata Sulsel)

POSKOTA.CO.ID - Kusta bukan saja soal isu kesehatan tetapi juga sosial.

Mereka yang sedang dan pernah mengalami kusta tidak hanya harus melewati pengobatan yang cukup panjang.  Mereka juga mendapat stigma dan diskriminasi. Ini mengakibatkan hak-hak dasar mereka dilanggar, termasuk hak atas akses kesehatan yang tanpa stigma dan juga hak atas pendidikan.

Untuk memperingati Hari Penyakit Tropis Terabaikan (NTD) 2023, jurnalis Pos Kota mewawancara Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata) Al Kadri. Permata adalah wadah untuk mempromosikan hak asasi manusia (HAM) dari orang-orang yang mengalami kusta.

Wawancara ini guna menggali lebih dalam persoalan yang dialami orang yang sedang mengalami kusta dan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK). Juga bagaimana upaya mereka memperjuangkan hak-haknya. Berikut petikannya.

Bisa diceritakan pengalamannya dulu mengalami kusta? Usianya berapa? Apa saja tanda dan gejalanya?

Saya sejak usia 6 tahun itu sudah ada bercak di lutut yang mati rasa. Waktu itu saya tidak tahu bahwa itu adalah tanda kusta.

Pada saat saya main dengan teman-teman. Teman saya mencubit yang bercak itu sampai berdarah tetapi tidak saya rasakan. Lalu salah satu orang tua dari teman saya mengetahui bahwa itu adalah tanda penyakit kusta dan menurut dia sangat berbahaya.

Akhirnya orang tersebut melaporkan saya ke kepala sekolah supaya saya tidak diikutkan dalam kegiatan belajar mengajar karena penyakit saya ini. Nanti jari-jari akan habis.

Perlakuan umum apa pada masa itu yang dilakukan atas orang kusta?

Ya pada waktu itu orang kusta yang mengalami kerusakan organ itu diasingkan.

Pada saat itu saya belum mengalami kerusakan organ, belum ada disabilitas, sehingga masih bisa bergaul dengan orang di lingkungan.

Tetapi untuk bersekolah saya sudah tidak bisa karena sudah ada yang keberatan.

Pada saat itu orang yang mengalami kusta setahu saya dibuatkan rumah-rumah di kebun dijauhkan dari keluarga karena dianggap penyakitnya sangat berbahaya.

Itu situasi pada 1977.

Bagaimana menjalani pengobatan kusta masa itu?

Karena belum tahu ada obat dari Puskesmas jadi saya dicarikan obat alternatif oleh keluarga.

Upaya orang tua juga saya pun dibawa ke rumah sakit dan dokter praktek.

Tetapi pada waktu itu belum begitu banyak dokter yang mengetahui bahwa penyakit ini ada obatnya.

Karena saya tinggal di pedalaman maka saya sampai di Kota Makassar untuk mencari obat. Orang tua saya membawa saya ke Makassar untuk mencari obat waktu itu.

Saya mengunjungi beberapa dokter kulit. Saya bahkan ke beberapa rumah sakit besar yang ada di Makassar.

Kemudian sembuh pada usia berapa?

Saya berobat begitu lama. Sejak awal sakit sampai harus mengalami kerusakan organ yang sangat luar biasa.

Saya bercak di kulit sudah ada sejak 1977 dan baru mendapatkan obat yang benar itu pada 1989 akhir.

Pada waktu itu saya sudah disabilitas. Jari-jari sudah kiting. Badan penuh luka. Kaki jari-jari bahkan sudah ada yang buntung.

Waktu itu sudah ada seorang Bapak yang pernah mengalami kusta.

Kemudian dia mendapat informasi bahwa saya mengalami penyakit kusta. Bapak tersebut datang menjenguk saya di rumah.

Beliau mengajak saya untuk ke perkampungan kusta yang ada di Wajo. Di situ baru saya menemukan pengobatan yang sesungguhnya.

Setelah sembuh apa masih mengalami stigma atau diskriminasi?

Stigma dan diskriminasi tentu. Saya tinggal di perkampungan kusta sampai sekarang ini karena masih adanya stigma dan diskriminasi.

Ini yang membuat saya meninggalkan kampung halaman karena ada stigma dan perlakuan masyarakat yang membuat saya harus meninggalkan keluarga.

Ketika diketahui ada anggota keluarga yang terkena kusta maka keluarga perempuan tidak ada yang mau melamar dan keluarganya laki-laki tidak ada yang menerima lamarannya. Hal ini membuat saya harus meninggalkan keluarga.

Perilaku diskriminasi itu realitas yang saya alami. Karena waktu itu saya sudah ada kerusakan. Jari-jari sudah kiting. Terus ada banyak luka di tubuh. Betul-betul saya tidak dibiarkan untuk berinteraksi dengan orang-orang. Jadi saya harus mengurung diri di rumah. Hanya tinggal di rumah.

Jadi sekarang tinggal di kampung yang dihuni sesama OYPMK?

Betul. Usai tahu kusta merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh orang maka saya memang berusaha untuk mencari perkampungan kusta.

Apa upaya-upaya untuk melawan stigma dan diskriminasi?

Tentu. Awalnya saya menerima saja perlakuan masyarakat. Karena saya berpikir siapa yang mau mengalami kondisi seperti yang saya alami dengan penyakit kusta.

Tetapi organisasi menyadarkan bahwa sebenarnya perlakuan-perlakuan yang kami dapatkan itu perlakuan yang tidak dibenarkan.

Haknya kami itu dilanggar oleh mereka yang memberi perlakuan tidak manusiawi.

Kemudian kami mencoba untuk melawan perlakuan tersebut dengan melakukan sosialisasi, penyuluhan, di mana pun kami berada.  Kami menyampaikan ke masyarakat bahwa perlakuan itu tidak benar.

Juga sesungguhnya penyakit yang pernah kami alami itu penyakit biasa yang bisa disembuhkan. Itu yang kami lakukan.

Seperti apa stigma yang dialami disabilitas akibat kusta?

Disabilitas akibat kusta ini tidak berdaya. Tetapi juga dipandang berbahaya. Ada ketakutan dan ada rasa jijik.

Disabilitas karena kusta itu bebannya jauh lebih berat dibandingkan dengan disabilitas pada umumnya.

Jadi ada beban psikologis dan beban mental juga?

Betul.

Sebagai OYPMK, mudah tidak untuk kembali kembali ke masyarakat, mencari dan menemukan pekerjaan?

Tentu tidak mudah. Jangankan yang sudah disabilitas, orang yang pernah mengalami kusta tanpa disabilitas juga mengalami beban yang sangat luar biasa, beban psikologis.

Orang-orang yang menyatakan peduli atau stakeholder yang mencoba untuk melakukan pemberdayaan selalu mengarahkan agar teman-teman yang mengalami kusta itu mengelola, mencari pekerjaan, di bagian jasa. Tetapi tidak merekomendasikan untuk mereka mencari pekerjaan di bagian kuliner dan sebagainya.

Ini adalah stigma dan diskriminasi luar biasa yang kami hadapi sebagai orang yang sedang dan pernah mengalami kusta.

Padahal mereka adalah orang yang cerdas dan  memiliki ketrampilan tetapi karena label pernah mengalami kusta maka pemberi kerja ada kekhawatiran.

Mereka takut mempekerjakan orang yang sedang mengalami kusta atau OYPMK di tempatnya karena cemas kliennya meninggalkan dia. Ini karena masih adanya stigma terhadap penyakit ini.

Untuk saat ini soal wawasan orang terhadap kusta apa jauh lebih baik?

Peningkatan wawasan ada. Tetapi masih sangat minim dengan ukuran untuk mencapai harapan negara kita terbebas dari penyakit kusta.

Masih sangat di bawah standar menurut saya untuk mencapai eliminasi. Karena pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini masih sangat minim.

Realita yang kami temukan di lapangan bahwa masih banyak orang yang mengalami kusta yang tersembunyi.

Kasus kusta itu merupakan fenomena gunung es karena adanya ketidaktahuan masyarakat, adanya ketakutan masyarakat terhadap penyakit ini.

Kalau kita mau mengatakan bahwa pengetahuan masyarakat tentang penyakit apakah sudah berkembang ya berkembang. Tetapi mencapai kepada yang kita harapkan bahwa masyarakat betul-betul sudah paham penyakit ini masih jauh dari harapan tersebut kalau saya amati.

Sejauh ini ada dukungan sosial untuk OYPMK dari Pemerintah?

Menurut saya, lagi-lagi harapan untuk dukungan tersebut masih sangat minim.

Perhatian khusus masih sangat minim. Banyak di komunitas kami, komunitas orang yang sedang dan pernah mengalami kusta, terabaikan haknya.

Kami belum mendapatkan layanan yang sesuai harapan sebagai orang yang sedang dan pernah mengalami kusta.

Kemudian apa upaya advokasi kalau di Permata?

Tentu advokasi kami lakukan secara kelembagaan terhadap pemberi layanan. Di samping advokasi secara terbuka di media dan sebagainya untuk menyampaikan hak-hak kami. Itu terus kami lakukan sampai saat ini.

Kembali ke soal kegiatan ekonomi, rata-rata OYPMK apa bisa memperoleh pekerjaan?

Ya, sangat kesulitan memperoleh pekerjaan formal.

Mayoritas dari mereka berkegiatan ekonomi secara mandiri. Jualan dan sebagainya. Itu yang banyak yang dilakukan oleh komunitas-komunitas yang kami dampingi.

Bagaimana penilaian atas isu kusta dan lingkungan inklusif?

Kami sebagai orang yang mengalami kusta atau pernah mengalami kusta sedikit tersisih dari beberapa hal.

Karena rumah sakit khusus sudah tidak ada lagi.

Layanan khusus buat kami sebagai orang yang mengalami kusta, rehabilitasi khusus untuk kami sebagai orang yang mengalami kusta, serta merta dihilangkan oleh stake holder, oleh pemerintah. Saat sekarang ini kami betul-betul kehilangan kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi karena layanan-layanan khusus tersebut hilang.

Rumah sakit khusus kusta yang dulunya bisa merehabilitasi orang kusta seperti saya, merehabilitasi orang yang mengalami disabilitas, ditiadakan.

Kemampuan petugas kesehatan sekarang ini minim sekali tentang upaya pencegahan disabilitas akibat kusta. Itu sudah sangat menurun sekali.

Harapan kami untuk mendapatkan layanan khusus itu menjadi berkurang bahkan hilang.

Ini yang membuat kami merasa bahwa kami kebablasan dalam menentukan sikap untuk kehidupan yang inklusif yang memang kita harapkan bersama.

Saya juga tidak tahu persis apakah ini berubah karena adanya perjuangan untuk kehidupan yang inklusif atau memang sudah begini situasi yang ada di Indonesia?

Sangat disayangkan sekali karena layanan khusus buat kami sudah tidak ada lagi dan banyak teman-teman yang mengalami kusta, khususnya yang mengalami kerusakan organ, sudah tidak bisa direhabilitasi lagi dengan baik.

Ini terkait minimnya pengetahuan tenaga kesehatan tentang kusta?

Itu sudah dipastikan juga. Karena mungkin tidak ada lagi kekhususan sehingga peningkatan kapasitas petugas-petugas kusta untuk melayani penyakit ini tidak ada lagi.

Kami tahu NLR sebagai lembaga yang betul-betul konsern untuk memperhatikan isu kusta dan bekerja memfasilitasi negara untuk menguatkan kapasitas petugas-petugas untuk menjadi ahli menangani penyakit ini.

Tetapi kemampuan tenaga kesehatan menurun drastis dan negara tidak muncul sini untuk melanjutkan apa yang sudah dilakukan NLR supaya hak orang yang mengalami kusta itu tetap terpenuhi. Khususnya hak kesehatan dan rehabilitasi tersebut.

Mungkin ada pesan atau harapan khusus kepada Pemerintah atau publik terkait penanganan kasus kusta dan dukungan sosial bagi OYPMK dan sebagainya?

Tentu. Sebagai orang yang pernah mengalami kusta dan melalui Permata ini mengharapkan dengan sangat tujuan untuk kehidupan yang inklusif, tujuan kehidupan yang bermartabat.

Kami mengharapkan negara memiliki gebrakan-gebrakan khusus supaya tidak ada lagi orang yang mengalami disabilitas akibat kusta.

Karena penyakit ini betul-betul bisa disembuhkan, ada obatnya, tersedia gratis. Karena dipersiapkan oleh dunia, dipersiapkan oleh WHO untuk orang yang mengalami kusta.

Hanya karena bekerja tidak konsisten, tidak bekerja dengan cerdas, sehingga masih banyak orang yang mengalami kusta terlambat untuk berobat.

Kami membutuhkan gerakan semua orang, kepedulian semua orang, supaya tidak ada lagi yang terlambat berobat karena penyakit ini.

Ketika tidak terlambat berobat maka tidak ada lagi orang yang mengalami disabilitas karena penyakit ini.

Karena tidak ada lagi disabilitas karena penyakit ini tentu masalah sosial juga bisa dikurangi terhadap orang yang pernah mengalami kusta.

Ini yang menjadi harapan terbesar kami bahwa negara memiliki gebrakan, langkah-langkah konkrit, untuk menyelesaikan permasalahan penyakit ini.

Malu dengan negara-negara lain yang memang sudah tidak ada masalah lagi dengan penyakit kusta.

Penyakit kustanya tetap ada akan tetapi mereka bisa menangani sebelum mengalami masalah sosial.

Maaf saya sedikit curhat saja bahwa saya pernah berkunjung ke Jepang. Di Jepang itu diumumkan oleh Pemerintah bahwa di Jepang tidak ada lagi kusta.

Kami diberi kesempatan untuk berkunjung ke Puskesmas. Kepala Puskesmas mengatakan bahwa di sini ada lima kasus.

Terus ada orang yang protes, tadi disampaikan di pemerintahan bahwa tidak ada lagi kusta.

Kepala Puskesmasnya membenarkan. Betul, karena kami tidak ada lagi masalah sosial. Karena mereka cepat berobat, sembuh, jadi tidak ada masalah. Jadi tidak ada masalah sosial lagi.

Ini yang kita harapkan ke depan. Tidak ada lagi masalah sosial karena penyakit ini. Karena penyakit ini betul-betul sudah bisa disembuhkan. Itu yang menjadi harapan besar kami. Tidak ada lagi yang menderita berkelanjutan karena penyakit ini karena penyakit ini betul-betul bisa disembuhkan. ***

Berita Terkait

News Update