Opini

Suara Kebangsaan : Donasi

Sabtu 31 Jul 2021, 09:45 WIB

Oleh Hasto Krisyanto

DI tengah berbagai persoalan di lapangan akibat kelangkaan oksigen, meningkatnya jumlah penderita Covid-19 di luar Jawa dan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga 2 Agustus 2021, publik dikejutkan oleh donasi sebesar 2 Triliun Rupiah dari keluarga Akidi Tio di Sumatra Selatan.

Keterkejutan publik terutama karena jumlah donasi yang begitu besar dan dilakukan oleh keluarga pengusaha yang namanya relatif tidak terdengar di tingkat nasional.

Apa yang dilakukan oleh Keluarga Akidi Tio semakin menambah harapan bahwa solidaritas, bela rasa dan gotong royong akibat pandemi, telah mendorong kerja gotong royong seluruh elemen bangsa.

Di sini gotong royong dimaknakan dalam bentuk yang kuat membantu yang lemah. Namun dalam esensinya, gotong royong lebih tepat digambarkan dalam peribahasa “kuat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.

Gotong royong adalah kerja bersama yang bersifat dinamis. Ada kesadaran terhadap kepentingan
bersama yang lebih besar daripada kepentingan pribadi atau golongan. 

Jadi, gotong royong didorong oleh kepentingan bersama, yang di dalam level berbangsa dan bernegara bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan menjaga kepentingan bersama, baik dalam kaitannya dengan tata kehidupan bermasyarakat, maupun dalam upaya menjaga keamanan masyarakat secara bersama-sama.

Di dalam gotong royong terkandung nilai kolektivitas, bahkan kesediaan untuk berkorban dengan
memberikan tenaga, pikiran, harta benda, selain itu juga memberikan semangat bagi terlaksananya kepentingan bersama dengan cara saling memberi. 

Dalam perspektif ideologis, gotong royong ini lahir dari buah pemahaman terhadap nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan bagi Persatuan indonesia, Musyawarah, dan berorientasi bagi terwujudnya Keadilan sosial dalam seluruh aspek kehidupan.

Gotong royong juga menjadi kesadaran kolektif, kesadaran kultural dalam kehidupan berbangsa dan terbukti ampuh di dalam memghadapi berbagai krisis. 

Krisis apapun ketika semangat gotong royong muncul, semuanya menjadi lebih ringan. Karena itulah tidak berlebihan bahwa gotong royong oleh bung Karno dikatakan sebagai saripati ideologi Pancasila.

Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa gotong royong bukanlah muncul dalam keadaan
serba berlebihan, sebab ini wajar, memberi karena berkelebihan.

Gotong royong dalam maknanya yang paling hakiki, justru ketika diberikan di tengah keterbatasan.

Gotong royong yang dilakukan dengan memberikan sesuatu di balik kekurangannya. Itulah makna
spiritualitas dari gotong royong itu. 

Sebab, gotong royong yang seperti ini benar-benar digerakan oleh sikap hidup yang sadar sesadar-sadarnya bagi kepentingan bersama atau kepentingan yang lebih besar.

Begitu banyak pengalaman yang terjadi ketika perjuangan di awal kemerdekaan Indonesia
dilakukan dengan cara gotong royong. Bela negara digemakan dengan semangat gotong royong.
Pelayanan publik dilakukan dengan gotong royong. 

Bahkan, dalam berbagai cerita tentang heroisme yang muncul ketika indonesia baru saja diproklamasikan, ada sosok Marhaen yang di balik kemiskinannya, memberikan lima tiang bambu
yang ditanam dari lahannya yang sempit. 

Dengan 5 batang bambu itulah, ia begitu bersemangat untuk membantu mengibarkan sang saka
Merah Putih ke angkasa raya. Ini adalah spirit gotong royong di balik kekurangan itu.

Ada juga suatu cerita bagaimana seorang janda mempersembahkan sekeping uang sebagai satu-satunya harta yang dimilikinya untuk dipersembahkan bagi keyakinannya atas kepentingan yang lebih besar. 

Sekeping uang mungkin tidak ada artinya bagi sosok konglomerat besar. Namun ketika sang janda
memberikan sekeping uang di balik kemiskinannya karena kesadaran bahwa dengan uang sekeping itu ia menjalankan kewajibannya dengan tulus ikhlas, maka dari balik kekurangannya itulah, makna gotong royong mendapat pemaknaan yang sebenarnya.

Indonesia harus berbangga bahwa begitu kuatnya kesadaran rakyat untuk bergotong royong di
balik kekurangannya. Topangan semangat gotong dalam makna yang paling hakiki tersebut membawa implikasi serius terhadap makna kekuasaan tertinggi. 

Ketika kekuasaan tertinggi dijalankan dengan wataknya yang koruptif, apalagi ditambah dengan gaya represif sebagaimana dilakukan oleh Pak Harto, maka kekuasaan dengan topangan gotong royong rakyat itu akan menciptakan karma politik.

Karma politik barangkali hidup dalam alam spiritual. Namun data empiris menunjukkan bahwa ketika kekuasaan tertinggi melupakan esensi makna kekuasaan yang berasal dari gotong royong dan pengorbanan rakyat, maka alam spiritual akan bertindak dengan hukumnya sendiri yang mewujud dalam karma politik.

Dengan demikian, spirit gotong royong yang hidup dan bekerja di tengah rakyat, selain hadir menjadi topangan bagi keberlangsungan bangsa, juga membawa tanggung jawab etis dan sosial bagi setiap pemimpin untuk memenuhi tanggung jawabnya bagi kemajuan bangsa, bukan bagi diri atau keluarganya. 

Jika tanggung jawab ini dilalaikan, maka rakyat akan hadir sebagai kekuatan maha dahyat yang mengoreksi berbagai bentuk penyimpangan.

Jadi, jangan sepelekan kekuatan donasi yang muncul dari kesadaran gotong royong rakyat. (*)

Tags:
Suara KebangsaanMarhaenHasto KrisyantodonasiPak Harto

Reporter

Administrator

Editor