Oleh: Hasto Kristiyanto
DALAM situasi serba sulit ketika mental bangsa terjajah oleh kolonialisme yang bercokol di Nusantara ratusan tahun lamanya, dan kemerdekaan alam pikir dibungkam, serta hak berserikat dan berkumpul dimatikan, dunia pendidikan pada masa itu ternyata mampu membuka kesadaran kaum Bumiputera untuk mencari ruang gerak politik. Ruang gerak itu akhirnya menumbuhkan pergerakan kebangsaan bagi terwujudnya kemerdekaan Indonesia.
Dunia pendidikan juga terbukti efektif menjadi lahan persemaian semangat kebangsaan. Dunia pendidikan menggelorakan hasrat untuk merdeka dengan cara-cara modern hingga melahirkan para pemuda pelopor yang berjuang hidup mati bagi Indonesia Merdeka.
Dunia pendidikan pada masa kolonial juga mampu membuka tabir kegelapan penjajahan melalui dialektika kritis guna mencari jawaban mengapa Nusantara dengan kejayaan masa lalu yang gilang gemilang bisa berubah menjadi bangsa terjajah.
Dialektika kritis yang sekaligus memunculkan imajinasi tentang kemerdekaan, yang oleh Sukarno digambarkan sebagai “Jembatan Emas” dan di seberang jembatan emas itulah akan dibangun masyarakat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dunia pendidikan tidak hanya memperluas cakrawala berpikir. Dunia pendidikan mengajarkan disiplin untuk berdialog dengan seluruh pelopor peradaban dunia. Hal ini disampaikan oleh Sukarno pada ketika menerima Doktor Honoris Causa dari Universitas Karlova, suatu universitas tertua di Eropa Timur dengan mengatakan, “… Saya berasal dari keluarga sederhana.
Waktu orang lain sudah hidup dalam kemewahan, saya tidur di atas dipan bambu. Tetapi saya telah mengenyam kekayaan dan perbendaharaan dunia spiritual. Dalam dunia spiritual itu saya menemukan Jefferson dari Amerika Serikat.
Saya berbicara dengan Gladstone dari Inggris. Saya mendengarkan Engels dan Marx dari Jerman. Saya duduk bersila dengan Gandhi dari India. Saya minum teh dengan Sun Yat-Sen dari Cina, dan sembahyang bersama dengan Kemal Ataturk dari Turki.
Saya menyerap semua kebijaksanaan dari pemimpin-pemimpin internasional”. Pidato singkat Sukarno sebagaimana ditulis oleh Ganis Harsono dalam bukunya Cakrawala Politik Era Sukarno tersebut menjadi saksi bagaimana melalui dunia pendidikan, para pemimpin bangsa menghadirkan dirinya sebagai pemimpin negawaran dan sekaligus pembelajar yang baik.
Dalam tradisi pemimpin negarawan tersebut, buku menjadi alat kontemplasi para tokoh pergerakan bangsa untuk terus mengasah daya kritisnya, guna mencari jawaban dan sekaligus jalan bagaimana kemerdekaan Indonesia itu terwujud. Dalam mencari jawaban itu, terbentanglah oleh Sukarno suatu tekad untuk mengoreksi garis hidup imperialisme.
Garis hidup itu terbentang dari Selat Gibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Laut merah, Lautan Hindia, lautan Tiongkok Selatan, hingga ke Lautan Jepang. Daratan sebelah-menyebelah garis hidup yang panjang itulah sebagian besar adalah tanah jajahan, rakyatnya tidak merdeka, dan hari depannya tergadaikan kepada sistem asing.