Oleh: Hasto Kristiyanto
RAKYAT Indonesia harus angkat jempol, bahkan dua jempol, guna memberikan apresiasi dengan penuh rasa bangga terhadap prestasi para atlet disabilitas yang mampu mengibarkan Sang Saka Merah Putih di ParalimpiadeTokyo.
Tercatat 2 medali emas, 3 perak dan 4 perunggu yang berhasil diboyong ke Tanah Air. Pencapaian atlet tersebut melampaui jumlah perolehan emas para atlit Indonesia pada Olimpiade yang sama di Tokyo tahun 2021 ini.
Paralimpiade dilakukan dalam waktu 13 hari setelah penyelenggaraan Olimpiade, sebagai even olah raga internasional dalam satu mata rantai penyelenggaraan Olimpiade.
Rintisan penyelenggaraan olahraga bagi para penyandang disabilitas sebenarnya sudah dimulai 103 tahun lalu di Berlin. Namun tradisi penyelenggaraan Paralimpiade baru muncul tahun 1960 sebagai penghormatan bahwa dalam dunia olah raga tidak pernah ada politik diskriminasi, termasuk kaum disabilitas pun diberi tempat daan kesempatan sama.
Nilai kemanusiaan dalam olah raga ini terus bergaung sebagai narasi kuat bahwa setiap umat manusia di muka bumi ini pada dasarnya sama dan sederajat.
Selama ini, dalam pandangan sosial, banyak yang masih memandang para difabel dengan mentalitas belas kasihan akibat keterbatasan fisik. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, para penyandang disabilitas dianggap sebagai warga negara yang mengalami disfungsi dan tidak berdaya.
Sering muncul anggapan sebelah mata bagi penyandang disabilitas. Padahal dibalik kondisi itu, muncul bakat tersembunyi yang luar biasa dan sering mengejutkan, terlebih dengan kepekaan seluruh pancaindera dan semangatnya, ketika spirit membangun kompetensi itu dimunculkan. Lihatlah kemampuan Stevie Wonder, Andrea Bocelli, bahkan Ludwig van Beethoven komposer berkaliber dunia yang menjadi icon karena kemampuannya di dalam dunia seni.
Beethoven bahkan menjadi legenda hidup yang belum tertandingi sentuhan rasa di dalam mengalirkan kreasi orchestra music klasik. Para legenda itu mampu keluar dari keterbatasan fisik dan daya talentanya telah merubah sejarah bagi kebangkitan semangat para orang tua yang memiliki keluarga difabel. Mereka menjadi narasi penggugah semangat untuk berkreasi. Tidak hanya itu, para creator yang menyandang disabilitas itu memengaruhi gerak peradaban agar respek kepada kemanusiaan.
Hasilnya sungguh luar biasa, humanisme berkembang menjadi paradigma baru. Kemanusiaan menyatukan perbedaan fisik. Dalam paradigma yang baru, para difabel ditempatkan dalam semangat keberagaman dan kesetaraan warga negara.

Ilustrasi atlet Paralimpiade Tokyo 2020. (Ucha)
Bagi bangsa Indonesia, tradisi mengedepankan nilai kemanusiaan sebenarnya tumbuh subur menjadi bagian dari kepribadian bangsa. Tidak hanya itu, nilai kemanusiaan telah mengilhami berbagai upaya mengatasi perbedaan. Salah satunya terihat dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.