Oleh: Hasto Kristiyanto
KEBENARAN adalah kebenaran, tidak ada yang mendua. Betapa hebatnya sesanti “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Sesanti tersebut meskipun ditulis oleh Mpu Tantular pada tahun 1851 di dalam kakawin Sutasoma pada masa kerajaan Majapahit, namun sebagai falsafah yang hidup, berdasarkan rekam jejak sejarah nusantara, telah dipahami maknanya sejak lebih dari 1200 tahun yang lalu.
Adalah kerajaan Mataram Hindu yang membuktikan bagaimana kehidupan beragama di Nusantara telah melahirkan kerukunan yang hakiki, di mana meski berbeda-beda namun tetap satu sebab tidak ada kebenaran yang mendua. Kebenaran dalam makna yang sebenarnya dapat dilihat dalam suatu tatanan sosial kemasyarakatan.
Hal ini terbukti ketika di banyak tempat, persoalan suku, ras, antar golongan, dan agama menjadi elemen pemecah belah sebagaimana terjadi berbagai kerusuhan SARA di India, Irlandia, Timur Tengah, Perancis, dan bahkan di Amerika Serikat.
Di Indonesia relatif terjaga, sebab pemahaman tidak ada kebenaran yang mendua dalam realitas hidup yang begitu beragam telah menjadi benteng yang kuat; suatu benteng yang membangun kohesivitas sosial, terlebih dilengkapi dengan tradisi gotong royong sebagai sari pati Pancasila.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Nusantara adalah negeri spiritual. Dalam balutan spiritual ini, berbuat kebaikan merupakan bagian dari tuntunan moral, sebagai ekspresi membangun kebajikan dengan meneladani hal-hal yang baik dari sifat Tuhan.
Kebaikan dimulai dari alam pikir, yang mendorong kesadaran dalam ucapan dan tindakan untuk terus melahirkan kebaikan. Meski demikian, dalam berbagai cerita rakyat, antara kebenaran sebagai salah satu identitas kesempurnaan, dalam realitasnya tidak terlepas dari sifat angkara murka. Baik dan buruk merupakan dualitas yang hidup.
Dalam dialektika kehidupan itu, narasi yang dikembangkan selalu menempatkan kemenangan pada kebaikan. Sebab kebaikan mengedepankan budi pekerti, kejujuran, kerendahan hati, dan sikap welas asih sebagai karakter penting yang mengalahkan angkara murka. Kebaikan dalam falsafahnya merupakan bagian yang penting yang hidup dalam keyakinan spiritual.
Bung Karno sangat memahami bagaimana Nusantara sebagai negeri spiritual. Karena itulah Sila Ketuhanan yang Maha Esa menjadi satu kesatuan dengan keempat Sila lainnya dalam Pancasila. Bung Karno menegaskan bahwa bukan saja bangsa Indonesia berTuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya masing-masing dengan cara saling hormat menghormati.
Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”.
Atas dasar hal tersebut, Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain menjadi esensi penting dalam Pancasila. Lebih lanjut dikatakan: ”Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”, tegas Bung Karno yang disambut tepuk tangan meriah ketika menyampaikan Pidato Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945.