PERTARUNGAN hegemoni di Laut Tiongkok Selatan semakin memanas. Amerika Serikat terus menggalang sekutunya dengan membentuk aliansi militer strategis AUKUS (Australia, United Kingdom, dan United State of America), sementara Tiongkok tetap tidak bergeming dengan klaim teritorialnya secara sepihak melalui nine dash line (NDL), suatu konsepsi penguasaan teritorial di Laut Tiongkok Selatan atas dasar legitimasi historis di wilayah yang sangat pen ting dalam perdagangan dunia tersebut.
NDL pun menjadi pintu gerbang bagi Tiongkok di dalam menjalankan seluruh konsepsi One Belt One Road (OBOR) yang berhadapan langsung dengan US Pasific Command yang akhirnya bermuara pada Trans Pacific Partnership yang didesain untuk membendung pengaruh Cina melalui perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina.
Pada saat bersamaan di Timur Tengah eskalasi konflik semakin memanas. Konflik terjadi karena klaim teritorial, perebutan sumber daya energi strategis seperti minyak dan gas bumi yang begitu melimpah, pertarungan kepemimpinan diantara negara-negara Islam yang juga dipicu perbedaan mazhab, dan keberagaman suku bangsa di kawasan tersebut tanpa adanya identitas pemersatu.
Konflik menjadi semakin rumit ketika berbagai kepentingan menyatu, dan mengundang intervensi negara-negara besar untuk hadir di kawasan kaya minyak tersebut.
Kesemuanya bertarung dalam narasi yang berbeda, namun ujung-ujungnya sama: memperebutkan sumber daya alam dan hasrat untuk menunjukkan hegemoni negara melalui kekuatan militernya.
Hasilnya, dua kekuatan besar kini saling berhadapan. Di satu sisi Arab Saudi dengan dukungan Amerika Serikat dan Eropa Barat, berhadapan dengan Iran dengan dukungan Rusia dan Tiongkok.
Sementara Turki mencoba memainkan perubahan konstelasi yang begitu dinamis di Timur Tengah.
Di bawah kepemimpinan Erdogan, Turki mampu memanfaatkan posisi geopolitiknya sebagai penghubung antara kawasan Asia dan Eropa guna membangun kekuatan pertahanannya bersama NATO dan pada saat bersamaan tetap bebas merdeka di dalam bekerjasama dengan Rusia.
Apa yang nampak dalam pertarungan geopolitik di atas, meskipun bersifat multipolar, namun dalam praktiknya, tetap terdapat dua kekuatan blok besar yang saling berhadapan.
Pertarungan geopolitik masa kini sebagaimana terjadi di Laut Tiongkok Selatan, Timur Tengah, dan juga di Ukrania, ditinjau dari strategi, eskalasi, dan ruang gerak politiknya berbeda dengan apa yang terjadi pada Perang Dingin 1.0, yakni situasi saling berhadapan dalam perang urat syaraf dan perang aliansi militer paska Perang Dunia II hingga runtuhnya blok komunis Uni Soviet.
Perang Dingin 1.0 lebih diwarnai oleh pertarungan ideologis.

Perang Dingin 2.0. (Ilust/poskota)