Oleh: Hasto Kristiyanto
TRADISI akademis bukan semata-mata muncul dari kampus. Seseorang yang menggunakan nalar, akal budi, dan daya rasionalitasnya untuk melihat realitas atau suatu fenomena, dan kemudian mengonstruksikannya ke dalam sistem pengetahuan, sudah bisa masuk dalam tradisi akademis, meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan formal sarjana sekalipun.
Tradisi akademis inilah yang mendorong pengembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan ilmu bukannya tanpa nilai. Bung Karno selalu menegaskan bahwa ilmu pengetahuan untuk amal. Di situlah praksis ilmu pengetahuan bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara memberi “nilai” aksiologis ilmu pengetahuan.
Pancasila juga lahir melalui tradisi akademis. Dalam pengembaraan intelektualnya, Bung Karno menggali Pancasila melalui proses dialektis, suatu pemaknaan secara dinamis dari hubungan sebab akibat, aksi dan reaksi, namun membumi dengan realitas kehidupan rakyat, khususnya rakyat marhaen, wong cilik.
Dalam realitas itulah Bung Karno menggali peradaban masa lalu seperti kehebatan Candi Borobudur dan seluruh icon kemajuan peradaban nusantara lainnya, termasuk rekam jejak bangsa bahari. Bung Karno juga menangkap spirit keberanian seorang pemimpin seperti Kertanegara. Demi membangun kedaulatan kerajaan Singosari, Kertanegara berani menyampaikan pesan tegas dengan mengiris kuping utusan Kubilai Khan yang bernama Meng Qi.
Tidak hanya itu, Kertanegara sudah memiliki pandangan geopolitik tentang kepemimpinan Nusantara dengan mengirim ekspedisi Pamalayu guna menegaskan kedaulatan atas wilayah teritorialnya menghadapi ancaman Mongol dari utara.
Tradisi akademis yang terpenting dalam perumusan Pancasila terjadi ketika pengetahuan modern barat dijadikan pisau analisa, disintesakan dan diinternalisasikan dalam keseluruhan falsafah bangsa yang telah hidup di bumi Nusantara. Nasionalisme yang tumbuh subur di barat, lahir dari pengetahuan geopolitik, kemudian berkembang menjadi ambisi penguasaan wilayah dengan dalil peradaban bangsa yang lebih tinggi memerlukan ruang ekspansi sehingga bisa menjajah bangsa lain dengan peradaban lebih rendah.
Nasionalisme pada watak ekspasionis ini oleh Bung Karno diganti menjadi socio-nasionalisme. Socio-nasionalisme tidak melebih-lebihkan bangsa sendiri, tetapi menyadari eksistensi bangsa dalam pergaulan antar bangsa. Socio-nasionalisme juga diperlukan sebagai daya imajinasi tentang pentingnya kesadaran senasib sebagai satu bangsa.
Demikian halnya demokrasi yang muncul dari tradisi peradaban Yunani, yang bergema kuat pasca Revolusi Perancis, dibumikan menjadi socio-demokrasi. Suatu demokrasi yang cocok dengan budaya bangsa Indonesia yang menempatkan pentingnya hikmat kebijaksanaan melalui model pengambilan keputusan yang mengedepankan konsensus.
Pancasila sebagai sintesa ideologi besar dunia juga menempatkan pentingnya nilai ketuhanan. Ketuhanan yang berbudi pekerti, yang meneladani sifat Tuhan untuk terus menebar kebaikan. Ketuhanan yang tidak ada egoisme agama. Ketuhanan yang menjadikan nusantara, Indonesia Raya, sebagai negeri spiritual dimana semua agama dan kepercayaan terhadap Tuhan bisa hidup berdampingan secara damai.
Dengan adanya nilai ketuhanan ini, koreksi atas manifesto komunis dilakukan. Selanjutnya melalui sila kemanusiaan dan keadilan sosial declaration of independence pun dirombak total. Dengan memasukkan prinsip kebangsaan dan musyawarah-gotong royong, wajah demokrasi untuk demokrasi diubah menjadi demokrasi yang berkeadilan sosial untuk seluruh warga bangsa.