Politik Mobilisasi

Minggu 10 Apr 2022, 07:10 WIB

Oleh : Hasto Kristiyanto

Dalam berbagai arahan tentang bagaimana ideologi Pancasila dibumikan, Megawati Soekarnoputri selalu mengingatkan hal sederhana, turun dan rasakanlah kehidupan rakyat. Rasakan dengan seluruh panca indra penuh empati. Disitulah makna sebenarnya kehidupan rakyat dapat dimengerti. Ia tercermin dalam keseluruhan perasaan, mimpi, dan harapan, bahkan terhadap hal yang tidak disuarakan sekalipun tentunya akan mampu didengarkan oleh mata hati seorang pemimpin.

 Suara yang tidak terdengar itulah yang dipahami Bung Karno sebagai amanat penderitaan rakyat. Sejak kecil Sukarno digembleng dengan nilai-nilai Tat Twam Asi, “aku adalah engkau”. Tat Twam Asi ini bergema sebagai gerak kemanusiaan untuk mencintai sesamanya. Dari ayahnya Raden Soekemi Sastrodihardjo, seorang theosof, Sukarno merasakan getaran seluruh panca indranya ketika bersentuhan dengan alam semesta seisinya.  

Berbagai puisi yang dibuatnya selama masa pembuangan di Ende menggambarkan hal tersebut. Ia bisa merasakan deburan ombak di pantai sebagai gelora semangat Indonesia merdeka. Ia bisa merasakan nafas Indonesia dengan menghirup udara kehidupan yang masuk dalam dirinya. 

Gelora semangat Bung Karno tidak pernah habis. Gelora ini menjadi energi juang. Dalam berbagai pernyataannya, Bung Karno sering menceritakan bagaimana energi ini dinyalakan sejak kecil melalui ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai dengan cerita kepahlawanan para Satria Pandawa. Semua melekat membentuk gambaran tugas satria melawan berbagai bentuk angkara murka.

Dari cerita wayang inilah perjuangan pembebasan rakyat tertindas membentuk imajinasi politik Sukarno. Dipertajam oleh rasa cintanya pada wong cilik melalui ketulusan hati Sarinah pengasuhnya, Sukarno kecil merasakan makna kemanusiaan yang mewujud dalam ketulusan hati. 

Dengan berbekal pada nilai-nilai kemanusiaan dan realitas penjajahan, muncullah gelora perjuangan itu. Gelora juang ini hanya bisa muncul dengan kesatupaduan antara pemimpin dan rakyat. Kesatuan yang hanya akan sempurna manakala prinsip kesetaraan dalam Tat Twam Asi bekerja, dan dengannya pemimpin bertindak tanpa pernah ragu terhadap jalan yang ditempuhnya. Kesatuan yang sama terjadi, ketika Sukarno muda bertemu dengan sosok petani kecil, Pak Marhaen.

Dari sosok petani marhaen ini Bung Karno menemukan inti atau hakekat semangat juangnya. Dengan perantaraan Pak Marhen sebagai representasi petani dan rakyat miskin lainnya, terjadilah koneksitas ideologis. Koneksitas ini membentuk kesadaran Sukarno tentang pentingnya mengorganisir rakyat sebagai basis teori revolusi politiknya. 

Sosok petani secara individual memang nampak lemah, meski memiliki tenaga untuk mengolah lahannya sendiri. Akan tetapi, secara perseorangan, ia mampu bertahan hidup dan berdaulat di dalam menentukan apa yang akan ditanamnya. Pertanyaan selanjutnya, apa yang menyebabkan jutaan petani menderita dan kehidupannya menjadi begitu miskin?

 

Ilustrasi. (ucha)

Dalam kontemplasi ideologis Sukarno, sekiranya petani ini dibangun kesadarannya dan menjadi satu kesatuan yang terpimpin, maka mereka akan menjelma menjadi kekuatan yang maha dahyat. Di sini Sukarno kemudian mengoreksi teori Karl Marx tentang perjuangan kelas. Menurut Sukarno, membangkitkan kesadaran rakyat, lalu memimpin pergerakan bagi cita-cita pembebasan menghadirkan perjuangan bangsa tertindas melawan sistem penjajahan.

Dalam teori kebangsaan yang disusunnya, Sukarno dengan tegas mengatakan bahwa perjuangan kelas tidak akan terjadi. Karena itulah ia lebih memilih bergerak ke bawah, melakukan pemberdayaan, bahkan terhadap mitologi Ratu Adil yang hidup di sanubari rakyat pun dipakai demi hadirnya keyakinan bagi upaya menjebol benteng kapitalisme. 

News Update