JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kusta termasuk salah satu penyakit tertua di dunia namun upaya penanggulangannya kerap terabaikan.
Meskipun prevalensi secara nasional lebih kecil tetapi Indonesia masih menjadi penyumbang kasus kusta nomor tiga di dunia setelah India dan Brazil.
Untuk memperingati Hari Penyakit Tropis Terabaikan (NTD) 2023, jurnalis Pos Kota mewawancara Direktur Eksekutif Yayasan NLR Indonesia Asken Sinaga.
Yayasan NLR Indonesia merupakan lembaga yang mendorong pemberantasan kusta dan inklusi bagi orang dengan disabilitas termasuk akibat kusta.
Wawancara ini guna menggali lebih dalam persoalan eliminasi kusta di Indonesia, stigma dan diskriminasi, dan upaya pemberantasannya. Berikut petikannya.
Kusta di Indonesia dinyatakan telah tereliminasi oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2000. Tetapi mengapa Indonesia masih menempati peringkat ke-3 sebagai negara penyumbang kusta?
Indonesia mencapai eliminasi pada tahun 2000. Namun sampai sekarang 2 Desember statusnya masih sama di tempat ketiga setelah India dan Brasil.
Berdasarkan beberapa diskusi dengan Kementerian Kesehatan ada beberapa sebab.
Pertama, kurangnya kerjasama lintas sektor dan lintas program di Indonesia untuk penanganan kusta.
Jadi kusta sendirian, penyakit lain sendirian, topik-topik kesehatan lain sendirian. Kurang kerjasama lintas sektor, lintas program, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.
Kedua, kurangnya sumber daya manusia tenaga kesehatan dalam dua hal. Dari sisi jumlah dan kapasitas, kemampuan, dalam hal kusta.
Khususnya di daerah endemis itu kekurangan sumber daya manusia untuk tenaga kesehatan ini sangat berpengaruh dalam menjalankan program-program rutin.
Ketiga, kendala di dalam rantai pasok obat. Obat kusta itu memang gratis. Tetapi rantai pasoknya, ketersediaannya, tidak terjamin selalu ada setiap waktu di tempat yang dibutuhkan.
Rantai pasok ini memang sudah dibahas secara nasional dan sudah ada langkah-langkah tindak lanjut yang mau dijalankan. Mudah-mudahan di 2023 ini isu suplai obat MDT bisa diatasi.
Keempat, soal anggaran. Anggaran pelaksanaan program yang bersumber dari nasional maupun daerah tidak cukup untuk menjalankan semua program kusta yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2019.
Kelima, tentang pemahaman. Stigma masih tinggi. Seperti stigma diri. Stigma diri ini menimpa orang yang sedang mengalami kusta atau OYPMK.
Lalu stigma di tenaga kesehatan. Stigma di masyarakat. Ini membuat mereka tidak datang berobat. Ini membuat pelayanan Puskesmas tidak ramah pada mereka.
Kalau di Indonesia sejauh ini jumlah penambahan kasus kusta berapa?
Kasus tahunan kita relatif stagnan di 15 ribu sampai 17 ribu.
Sejak belasan tahun terakhir sampai sekarang kasus tahunan, ini kasus baru, setiap tahun itu antara 15 ribu sampai 17 ribu.
Kecuali di tahun 2020 dan 2021 karena itu masa pandemi sehingga dianggap abnormal dan kasusnya rendah di 2 tahun itu.
Jadi monitoring kasus kusta ini menemukan hambatan saat masa pandemi?
Iya. Ada hambatan program kusta ketika pandemi dan ini memang tidak terjadi untuk kusta saja. Untuk penyakit lain juga terjadi.
Kalau stigma dan diskriminasi itu apa aja yang NLR temukan dan apa dampaknya?
Stigma dan diskriminasi setidaknya ada tiga atau empat.
Stigma diri pada orang yang sedang mengalami kusta dan orang yang pernah mengalami kusta.
Stigma diri ini membuat mereka tidak datang berobat, membuat mereka tidak disiplin dalam berobat, dan membuat mereka tidak mau bergaul dalam masyarakat. Terdiskriminasi dalam konteks itu.
Kemudian dari tenaga kesehatan. Ketika seorang yang sedang mengalami kusta datang berobat tidak dilayani dengan baik.
Kami mendengar itu ada yang dilayani tetapi disuruh menunggu sampai yang lain selesai dulu baru dilayani. Atau dilayani tetapi harus menunggu petugas kustanya datang.
Lalu ada stigma masyarakat. Ketika orang yang sedang mengalami kusta atau orang yang pernah mengalami kusta datang ke masyarakat, masyarakatnya ambil jarak. Menjauh.
Ketika ada rapat desa mereka tidak diundang. Ketika mereka berjualan jajanan di kampung, makanannya tidak dibeli.
Stigma-stigma ini, lapis-lapis ini, harus disasar bersamaan.
Jadi persoalannya tidak hanya fisik tetapi ada beban psikologis mental?
Iya dari stigma tadi.
Perlu tidak intervensi untuk mengurangi dampak stigma diskriminasi ini?
Kami menyasar stigma diri ini. Kami kumpulkan mereka.
Ada inovasi peer counselling. Itu pendampingan rekan sebaya. Jadi OYPMK kami latih guna menjadi konselor untuk mendampingi OYPMK yang sedang down, jatuh mentalnya. Karena sesama OYPMK ini akan saling menguatkan.
Organisasi-organisasi disabilitas kami ajak bergabung.
Lalu ada kelompok perawatan diri. Kelompok perawatan diri dibentuk supaya mereka bisa merawat diri.
Untuk tenaga Kesehatan, juga kami kumpulkan. Kami sensitisasi tentang kusta itu. Tidak hanya di petugas kusta tetapi seluruh petugas kesehatan Puskesmas perlu tahu. Bagian programnya, bagian promosi kesehatan, dan bagian kesehatan jiwanya.
Untuk masyarakat. Ada program Suka, Suara untuk Indonesia Bebas Kusta, kami menggunakan media sosial. Bikin lagu. Bikin kompetisi konten kreator. Bikin foto. Bikin artikel. Tujuannya mengedukasi masyarakat itu dalam hidup sehari-hari.
Sejauh ini apa stigma dan diskriminasi berkurang dan sekarang sudah jauh lebih baik? Bagaimana pantauan, monitoringnya?
Mengukurnya agak susah. Karena ini perlu melibatkan banyak pihak.
Sementara ini memang ukuran kita itu masih dari data-data angka. Misalnya orang yang memberi respon positif atas sebuah konten media di media sosial. Ada orang merespon 1700, ada 12 ribu. Tetapi itu respon dari kata-kata yang bisa kami lihat. Itu sudah menggembirakan setidaknya sebagai indikasi awal untuk kami on the track.
Monitoring berikutnya di level masyarakat. Karena tidak semua masyarakat memakai media sosial.
Monitoring sebatas bisa dimonitor. Seperti melalui media sosial bisa kami monitor. Tetapi buat yang belum terlibat di media sosial maka susah dimonitor, belum bisa kami monitor, dan ini menjadi PR.
Kementerian Kesehatan menargetkan program eliminasi kusta. Apa saja hambatan dan tantangannya untuk mencapai itu?
Tantangannya sebenarnya mirip dengan pertanyaan mengapa Indonesia masih menempati peringkat ke-3 sebagai negara penyumbang kusta?
Jadi masih ada menjadi kendala. Baik itu di kerjasama lintas sektor, ketersediaan sumber daya manusia, anggaran yang kurang, pemahaman, dan ketersediaan obat. Jadi multi topik tantangan kita.
Boleh dikatakan perjuangan ini masih panjang?
Masih panjang kalau bekerjanya masih seperti sekarang. Ini bisa cepat kalau kerjanya menjadi lebih baik.
Misalnya dengan kolaborasi, integrasi kegiatan, membuat lebih banyak inovasi, dan mengakselerasinya. Yaitu dengan replikasi model-model yang sudah berhasil. Inovasi yang sudah berhasil. Jadi tidak usah pesimis dulu memang.
Kalau masih melakukan praktek yang sama ya memang sampai 2030 tidak akan eliminasi kusta. Tetapi kalau kerjanya bareng dikeroyok maka efeknya lebih kuat.
Jika keluarga atau orang di sekitar kita mengalami gejala yang diduga adalah kusta. Apa yang bisa dilakukan?
Kalau saya sebagai warga masyarakat menemukan ada orang yang kena kusta maka sarankan dia pergi ke Puskesmas.
Kalau dia tidak mau pergi, saya antar ke Puskesmas. Kalau tidak mau juga, telepon Puskesmas untuk jumpai dia. Puskesmas pasti bergerak.
Kemudian saya kasih tahu dia tentang apa itu kusta. Bahwa kusta itu bisa disembuhkan total. Pengobatannya gratis. Tidak menular lagi kalau dia sudah minum obat pertama. Kalau hari ini makan obat pertama maka besok sudah tidak menularkan.
Kemudian memberitahukan bahwa kusta itu bukan guna-guna atau kutukan.
Saya kasih penguatan dan edukasi agar jangan memaknai kusta secara keliru.
Apa himbauan ke masyarakat agar lebih peduli dengan kusta, OYPMK, dan bahu-membahu memutus mata rantai penularan?
Untuk bahu-membahu, secara pribadi kita punya media sosial. Punya teman-teman kelompok.
Kita perlu menyampaikan kepada teman-teman, keluarga, atau lewat media sosial bahwa kusta bisa disembuhkan, kusta sulit menular, dan kusta bukan kutukan.
Kemudian kalau melihat orang yang terkena kusta minta dia ke Puskesmas. Antar dia ke Puskesmas. Atau minta orang Puskesmas temui dia.
Kalau bertemu orang yang mengalami kusta, rangkul dia. Ajak ngopi bareng. Karena pas dia kusta kalau diajak ngopi bareng itu penghargaannya timbul.
Kita yang ngajak ngopi bareng itu tidak usah takut tertular. Karena kusta tidak mudah menular. Paling sulit menular.
Dengan itu kita sudah berkontribusi untuk kusta. Sederhana sekali, tidak perlu duit banyak. ***