TANGERANG, POSKOTA.CO.ID - Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UNPAM, Halimah Humayrah Tuanaya menyatakan ada kekeliruan saat melakukan penyidikan untuk tidak menyertakan PT Citra Prima Persada selaku pemegang izin Venesia Executive Hall, Hotel, Spa, dan Karaoke.
Padahal Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TTPO) memungkinkan korporasi untuk bertanggungjawab atas tindak pidana ini. Kekeliruan ini dimulai saat penyidikan, dan tidak diperbaiki saat pra penuntutan, lalu dilanjutkan pada pembuatan surat dakwaan.
"Sebagai konsekuensinya, seharusnya Hadi Erlangga dan Edi Wijaya selaku Komisaris dan Direktur PT Prima Putra Persada juga dapat ditarik untuk diminta pertanggungjawabannya atas tindak pidana ini," kata Halimah, Jumat (4/6/2021).
"Karena dalam dakwaan yang dibacakan penuntut umum dalam persidangan, dengan tegas disebutkan bahwa kedua orang tersebut setiap hari menerima laporan tentang operasional Venesia dari Yatim Suarto selaku General Manager," sambungnya.
Dalam dakwaannya, penuntut umum menyampaikan bahwa Yatim Suarto sebagai GM betugas dan tanggung jawab mengurus jam operasional manajer operasional, pelayan, waiter, para kasir, operator, pencari tamu (mami) bartender atau marketing tamu, mami, dan melaporkan setiap hari ke Hadi dan Edi Wijaya bin almarhum Edi Warna Wijaya selaku komisaris dan direktur perusahaan Venesia.
"Dakwaan tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana ini dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi, dan juga telah dilakukan secara sistematis dalam kerangka hubungan kerja. Maka dengan demikian, sudah sepatutnyalah korporasi dan pengurusnya dipandang sebagai pelaku tindak pidana perdagangan orang (human traficking)," katanya.
Menurutnya, kekeliruan atau mungkin kesengajaan ini tidak mutlak menjadi tanggungjawab penyidik, tetapi juga penuntut umum.
Pada saat prapenuntutan, penuntut umum memiliki wewenang untuk memberikan petunjuk kepada penyidik terkait penyidikan suatu peristiwa pidana.
Penuntut umum dalam perkara ini seharusnya memberikan petunjuk agar Hadi dan Edi selaku komisaris dan direktur juga turut disertakan untuk dimintai pertanggungjawaban dan ditetapkan sebagai tersangka juga.
"Merujuk pada Undang-Undang TPPO, selain enam orang yang saat ini menjadi terdakwa, maka PT Citra Prima Persada selaku pemegang izin Venesia Executive Hall, Hotel, Spa, dan Karaoke, berikut juga dengan pengurus korporasi, dalam hal ini Hadi dan Edi selaku komisaris dan direktur juga semestinya turut dimintai pertanggungjawaban," katanya.
Sehinga jika pertanyaannya apakah enam orang ini dikorbankan?, apakah ada tendensi untuk melindungi pemilik venesia? hal itu mungkin saja, sebab pada dasarnya ketentuan pidananya memungkinkan untuk menyeret juga korporasi yang memegang izin operasional venesia berikut juga dengan pengurusnya, tapi toh tidak dilakukan.
"Sebagaimana pernyataan saya sebelumnya, tindakan penyidik yang hanya melakukan penyidikan tindak pidana TPPO merupakan kekeliruan dalam menerapkan hukum," jelasnya.
Menurutnya kekeliruan tidak hanya dilakukan penyidik, tetapi juga oleh penuntut umum.
Pada saat prapenuntutan, penuntut umum memiliki wewenang untuk memberikan petunjuk kepada penyidik terkait penyidikan suatu peristiwa pidana, termasuk jika penuntut umum berpendapat bahwa ada dua pasal berlapis yang dapat disangkakan dan didakwakan kepada pelaku tindak pidana.
Kesalahan penuntut umum tidak dicantumkannya UU Kekarantinaan Kesehatan berakibat dapat meringankankan vonis yang diterima terdakwa.
Hal ini mengingat biasanya hakim akan memutus Terdakwa dengan pidana lebih berat jika hakim mempertimbangkan perbuatan pelaku melanggar dua delik sekaligus dibandingkan dengan hanya melanggar satu delik saja.
"Jadi surat dakwaan seharusnya tetap dibuat kumulatif dengan UU Kekarantinaan Kesehatan," urainya.
Ia menjelaskan, dalam persidangan pembacaan dakwaan yang digelar Kamis pekan lalu, selain UU TPPO, muncul juga pasal tentang prostitusi, tepatnya Pasal 296 KUHP. Pasal 296 KUHP ini bukanlah pasal yang mengatur mucikari atau orang yang mengambil keuntungan dari pelacuran. Tetapi delik tentang perbuatan memfasilitasi prostitusi, seperti mengadakan tempat-tempat pelacuran.
Hal tersebut dibenarkan menurut hukum.
Munculnya Pasal 296 KUHP dalam dakwaan mungkin memiliki maksud yang baik. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian penuntut umum, untuk menghindari Terdakwa bebas akibat sulit dibuktikannya dakwaan TPPO, sehingga dibuat dakwaan alternatif Pasal 296 KUHP;
"Walaupun, munculnya alternatif Pasal 296 KUHP, memang berkonsekuwensi dimungkinkannya penuntut umum untuk memilih TPPO atau prostitusi dalam tuntutannya nanti. Semua kembali pada integritas Penuntut Umum dan tanggung jawabnya terhadap masyarakat," tuturnya. (toga)