ADVERTISEMENT

Sepak Bola di Timur Tengah: Neoliberalisme dan Revolusi

Minggu, 4 Desember 2022 10:00 WIB

Share
Karim Ziani dari Aljazair dan Ahmed Fathy dari Mesir berebut bola pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia pada 14 November 2009.
Karim Ziani dari Aljazair dan Ahmed Fathy dari Mesir berebut bola pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia pada 14 November 2009.

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Namun yang terpenting, Qatar akan menghadapi pengawasan ketat atas kondisi tenaga kerja migrannya, yang menjadi tulang punggung kemampuan negara untuk membangun infrastruktur penting untuk pelaksanaan turnamen. Mengingat tuduhan terus-menerus bahwa mempraktikkan "perbudakan zaman modern", Qatar menghadapi tekanan kuat untuk mereformasi sistem perburuhannya agar sejalan dengan standar hak asasi manusia internasional.

Ultra Mesir

Beberapa bulan pasca suksesnya tawaran Piala Dunia Qatar menjadi berita utama kemudian menyusul gelombang pemberontakan rakyat yang melanda Timur Tengah dan Afrika Utara. Satu demi satu rezim otoritarian menghadapi kemungkinan penggulingan demi tatanan politik yang lebih representatif, para pengamat mengalihkan fokus mereka untuk memeriksa berbagai gerakan sosial yang dimobilisasi untuk menentang kediktatoran yang mengakar kuat.

Mesir telah menyaksikan pemerintahan Hosni Mubarak selama tiga dasawarsa dibatalkan protes massa selama 18 hari. Peran ultras atau penggemar garis keras sepak bola terkenal karena membela pengunjuk rasa yang dikonfrontasi dengan kekerasan negara. Di masa lalu mereka, kelompok penggemar setia seperti Ultra Al Ahlawy, dari Klub Olahraga Al Ahly, tidak asing dengan tindakan represif.

Seperti yang diceritakan salah satu anggota Al Ahlawy,“Itu bukan hanya mendukung sebuah tim. Anda melawan sistem dan negara secara keseluruhan. Kami melawan polisi, melawan pemerintah, memperjuangkan hak-hak kami.”

Pengalaman tersebut terbukti berharga ketika Hosni Mubarak mengirim pasukan polisi dan gerombolan berpakaian preman untuk membubarkan para pengunjuk rasa di Lapangan Tahrir di Kairo dan tempat lain di seluruh penjuru negara. Ultra memukul mundur serangan pasukan pemerintah, melindungi warga sipil yang berunjuk rasa, dan mempertahankan tekanan atas rezim yang pada akhirnya menyebabkan Hosni Mubarak terjungkal.

Ultra selama masa transisi berikutnya terus menjadi bagian dari protes massa yang menentang dominasi militer dalam proses politik. Usai pertandingan di Stadion Port Said pada Februari 2012, sebanyak 74 pendukung Al Ahly tewas dalam serangan preman bersenjata sementara polisi berdiam saja. Serangan tersebut kemungkinan direncanakan sebagai pembalasan atas aktivisme anti rezim Ultra.

Pembantaian tersebut sejauh ini merupakan contoh kekerasan terbesar dalam sejarah sepak bola Mesir. Menurut seorang pengamat, tragedi Port Said “mengubah klub penggemar sepak bola revolusioner menjadi entitas politik”. Upaya Ultra untuk mencari keadilan bagi para korban melalui pengadilan Mesir ditolak. Sebaliknya pemerintah mengeluarkan larangan semua penggemar di stadion sepak bola yang hanya dicabut sebagian pada 2018.

Rezim otoritarian dihidupkan kembali. Dipimpin Presiden Abdel Fattah El Sisi yang melarang semua kelompok penggemar terorganisir sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk menekan arus politik independen dalam masyarakat Mesir.

Keuniversalan dan Kemampuan Sepak Bola

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT