ADVERTISEMENT

Sepak Bola di Timur Tengah: Neoliberalisme dan Revolusi

Minggu, 4 Desember 2022 10:00 WIB

Share
Karim Ziani dari Aljazair dan Ahmed Fathy dari Mesir berebut bola pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia pada 14 November 2009.
Karim Ziani dari Aljazair dan Ahmed Fathy dari Mesir berebut bola pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia pada 14 November 2009.

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Menjelang turnamen, tim terpaksa berlatih di negara tetangga Yordania untuk menghindari kerusakan akibat pendudukan militer dan kekerasan sektarian di kampung halaman. Menjelang pertandingan penyisihan grup pembuka, fisioterapis tim terbunuh oleh bom mobil di Bagdad saat mencoba untuk bergabung kembali dengan skuad.

Tim Irak mengangkat piala di Jakarta, menyusul kemenangan tipis 1-0 atas Arab Saudi di final. Kemenangan tersebut dibayangi berita serangkaian pengeboman yang menewaskan 50 fans Irak saat mereka merayakan kemenangan semifinal tim mereka atas Korea Selatan.

Pencapaian luar biasa tim dengan kesulitan yang dihadapi tim Irak. Perpaduan keduanya menghasilkan narasi tentang persatuan yang ditampilkan melintasi perpecahan sektarian Irak dan kekuatan penyembuhan dari olahraga.

Membasmi Kesalahpahaman

Badan sepak bola dunia (FIFA) tiga tahun kemudian, yakni pada 2010, menyatakan menerima tawaran Qatar untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 . Pengumuman ini langsung disambut dengan kegembiraan dan ketidakpercayaan. Qatar akan menjadi negara terkecil yang pernah menjadi tuan rumah Piala Dunia dan pertama di Timur Tengah yang menyelenggarakannya.

Para pemimpin Qatar, dengan dukungan kekayaan gas alam negaranya, memposisikan negara mereka sebagai situs yang secara teknis maju untuk menjadi tuan rumah turnamen dengan "menciptakan konsep baru" dan "mendobrak batas". Sementara berjanji untuk lebih inklusif daripada turnamen konvensional. "Piala Dunia untuk semua orang,” ungkap Ketua Penawaran Qatar Sheikh Mohammed Bin Hamad Al Thani.

Sheikha Moza Bin Nasser, istri emir yang berkuasa di negara saat itu menambahkan,“Ini adalah kesempatan untuk menghilangkan kesalahpahaman, tidak hanya tentang Qatar, tetapi tentang dunia Islam dan Arab yang lebih luas.”

Di tempat lain, pengumuman FIFA menimbulkan protes cukup besar. Kritikus mempertanyakan setiap aspek dari keputusan tersebut. Mulai dari kurangnya silsilah sepak bola Qatar yang kuat hingga kekhawatiran atas kondisi iklim selama bulan-bulan musim panas yang sangat intens di negara gurun tersebut.

Yang lain menyatakan skeptis terhadap kemampuan Qatar untuk melakukan prestasi logistik membangun stadion baru, fasilitas pelatihan, hotel, dan sistem angkutan umum, di antara persyaratan infrastruktur lainnya. Bahkan dengan turnamen yang akan berlangsung 12 tahun lagi.

Argumen budaya mengedepankan gagasan bahwa negara Muslim yang membatasi penjualan alkohol tidak mungkin menjadi tuan rumah acara global di mana konsumsi alkohol menjadi fitur utama dari pengalaman penggemar. Beberapa mempertanyakan integritas proses tersebut sendiri di mana "negara yang tidak mungkin" dianugerahi Piala Dunia di tengah tuduhan pembelian suara dan korupsi di dalam FIFA.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT