JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pakar hukum tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, ikut menyoroti kasus transaksi Rp 349 triliun yang dibuka ke publik oleh PPATK dan Menkopolhukam Mahfud MD.
Menurut Yenti, seharusnya pihak-pihak yang belakangan ramai memberikan informasi soal transaksi aneh Rp 349 triliun tak membuka seterang-terangnya ke publik.
Sebab dikhawatirkan, dana-dana misterius tersebut bisa langsung dipindahtangankan, atau diamankan sebelum akhirnya dibongkar oleh penyidik.
Yenti menerangkan, ketentuan itu ada di dalam Undang-undang TPPU di Pasal 11. Dikatakan bahwa pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut, hakim, dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya, dalam hal ini berkaitan dengan harta kekayaan yang mencurigakan, itu harus merahasiakannya.
"Jadi tidak boleh kalau dia membuka, kecuali di pengadilan ya. Hakim pun kan pada waktu belum disampaikan itu tidak boleh. Karena takutnya, kalau dia membuka, kemudian orang-orang yang terlaporkan begitu ya, rekeningnya terlapor nanti keburu dibawa lari."
"Jadi pengadilan tidak ada gunanya juga, walaupun itu hanya sebatas gambaran saja, tidak eksplisit. Dalam financial intelligence ini termasuk walau tak disebutkan namanya," katanya, disitat Selasa 28 Maret 2023.
Menurut Yenti, seharusnya penegak hukum cepat-cepat melakukan tindakan di awal mencuatnya kasus transaksi Rp 349 triliun di Kemenkeu ini.
Dan bukan malah dibiarkan dan tidak ada follow up. Karena para penjahat di balik kasus ini pasti telah bersiap diri melakukan pengamanan.
"Ketika sudah disampaikan, harusnya penegak hukum harus cepat-cepat, saya melihatnya kok tidak, cuma ramai saja di media. Apa yang disampaikan Pak Mahfud ini benar apa tidak juga saya tidak tahu."
"Tapi pada waktu itu, berguna gitu kan, karena kita juga kaget loh, kok ternyata ada transaksi mencurigakan sejak 2009 sampai sekarang. Kok kenapa baru sekarang diungkap?" kata dia.
Kemudian jika melihat dari beberapa jejaknya, seperti Rafael Alun Trisambodo, tercatat memang dia adalah salah satu orang bermasalah. Datanya termonitor sejak 2012, 2013, 2017, sampai yang terakhir seolah ada pembiaran.
Karena ada pembiaran itulah, Yenti menduga Mahfud MD kemudian masuk terlebih dengan angka nominal besar yang dibisiki oleh PPATK sebesar Rp 349 triliun.
"Harusnya diatur mungkin, kan dari DPR itu mungkin ada undang-undang lebih dalam lagi sebetulnya, sampai ada bagaimana soal aturan tadi, ketika masuk laporan ke PPATK itu seperti apa sih aturannya? Dan ini menjadi pertanyaan publik juga kan," katanya.