JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Indonesia masih menjadi penyumbang kasus kusta nomor 3 di dunia setelah India dan Brazil. Hal ini diamini Kementerian Kesehatan.
Masih banyaknya kasus kusta di Indonesia, selain membawa dampak kesehatan juga punya dampak sosial, stigma dan diskriminasi. Ini dialami orang yang sedang mengalami kusta dan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK). Ini mengakibatkan hak-hak dasar mereka dilanggar. Komnas HAM pun menaruh perhatian terkait kusta.
Memperingati Hari Penyakit Tropis Terabaikan (NTD) 2023, jurnalis Pos Kota mewawancara Staf Penyuluh Hak Asasi Manusia Madya dari Komnas HAM Rusman Widodo. Wawancara ini ingin mencari tahu lebih dalam seperti apa kusta dalam kacamata hak asasi manusia (HAM). Berikut petikannya.
Mengapa upaya penghapusan kusta sangat sulit dilakukan?
Sulit dilakukan karena dimensinya sangat kompleks. Situasi dan kondisi terkait kusta belum bisa saling terbuka, saling mendukung, dan saling menguatkan untuk bangkit bersama menghapus kusta.
Perihal kondisi, hal ini berkaitan dengan keadaan internal dari orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) atau yang sedang mengalami kusta dan anggota keluarganya. OYPMK merasa rasa percaya dirinya berkurang sehingga menjadi rendah diri lalu memilih menjaga jarak, menjauhkan diri, atau mengucilkan diri dari pergaulan sosial.
Perihal situasi, hal ini terkait dengan lingkungan disekitar OYPMK dan lingkungan yang lebih luas serta sikap masyarakat dan negara terhadap OYPMK. Terkait lingkungan, sebagian besar OYMPK hidup di kawasan penduduk miskin yang keadaannya kurang sehat, kurang layak huni. Terkait sikap masyarakat, sebagian besar masyarakat memiliki penilaian negatif terhadap OYPMK. Mereka takut untuk berinteraksi dengan OYPMK karena kusta tergolong penyakit menular.
Masyarakat umum cenderung memilih menjauhi OYPMK. Bahkan sebagian dari mereka membenarkan bahwa OYPMK adalah orang yang terkena kutukan.
Perihal sikap negara. Dalam hal ini pemerintah, lebih khusus lagi yang langsung terkait seperti Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial, belum sepenuhnya mau dan mampu menjalankan kewajiban HAM untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM dari OYPMK dan anggota keluarganya. Kementerian terkait terlihat kurang dalam koordinasi kerjanya dalam memenuhi HAM dari OYPMK.
Lainnya, organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bergerak dalam isu kusta boleh dibilang tidak terlalu banyak. Artinya perbandingan antara jumlah OYPMK yang harus ditangani dengan OMS yang mencoba membantu mereka masih belum sebanding.
Bagaimana penilaian hukum dan hak asasi manusia tentang ini?
Situasi dan kondisi yang menimpa OYPMK dan anggota keluarganya boleh dibilang sebagai bentuk pelanggaran HAM. Yaitu pelanggaran HAM by omission atau pembiaran. Mengapa? Karena seharusnya negara memberikan peindungan dan pemenuhan HAM kepada OYPMK dan anggota keluarganya. Tetapi mereka malah mengabaikan atau tidak menjalankan kewajiban tersebut dengan sungguh-sungguh.
Negara terlihat masih belum sepenuh hati untuk menangani persoalan yang dihadapi OYPMK. Bisa dicek dari sisi anggaran, apakah negara sudah menyediakan anggaran yang memadai untuk menangani kasus yang dihadapi OYPMK. Apakah negara sudah memiliki satuan tugas (satgas) untuk kasus kusta. Apakah negara sudah melakukan kajian terhadap beragam kebijakan negara yang diskriminatif terhadap OYPMK dan anggota keluarganya? Apakah sudah benar-benar memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap OYPMK dan anggota keluarganya?
Terkait stigma dan diskriminasi atas orang yang mengalami kusta dan pernah mengalami kusta, kalau dalam penelitian Pak Rusman dulu seperti apa?
Kusta menjadi salah satu isu yang digarap Komnas HAM pada 2012 – 2017. Kami membentuk tim kusta untuk melakukan penyuluhan, penelitian, dan pemantauan terkait kusta.
Kami melakukan penelitian di Sampang Madura. Saat turun ke lapangan, kami menemukan fakta bahwa stigma dan diskriminasi masih menimpa OYPMK. Misalnya, kami pernah mewawancarai salah satu kepala keluarga yang keluarganya menderita kusta. Mereka dijauhi tetangganya, saat berobat ke Puskesmas juga dijauhi pasien yang lain bila diketahui sebagai penyandang kusta.
Kusta di Madura disebut dengan istilah daging jube. Saat kami mewawancarai tokoh pemuda, dia juga merasa takut untuk bergaul dengan penyandang kusta. Tetapi dia tidak melakukan tindak kekerasan dalam bentuk kekerasan fisik, cenderung membiarkan, dan tidak berbuat apa-apa selama penyandang kusta bisa menjaga jarak.
Kiai atau tokoh agama yang kami wawancarai cenderung menjaga jarak dengan penyandang kusta. Bila ada salah satu santrinya terkena kusta maka dia akan mengeluarkan santri tersebut dan memintanya untuk berobat sampai benar-benar sembuh. Intinya masyarakat dan tokoh agama memilih menjaga jarak dari penyandang kusta.
Agar tetap bisa bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat lain maka penyandang kusta memilih untuk menyembunyikan penyakitnya, tidak mengakui bahwa dia menderita kusta. Mengapa? Bagi penyandang kusta bila tidak bisa berinteraksi dengan orang lain maka itu bisa berarti “kiamat” karena dengan kondisi seperti itu mereka tidak bisa berdagang, jual beli, menjual hasil sawah, hasil kebun, atau hasil ternaknya.
Bisa disebutkan contoh dari stigma dan diskriminasi yang mengakibatkan hak asasi mereka banyak dilanggar?
Berikut adalah beberapa catatan yang berhasil kami kumpulkan terkait dengan stigma dan diskriminasi yang dialami OYPMK dan orang yang sedang mengalami kusta dan anggota keluarganya.
Sering tidak bisa mendapat layanan medis. Misalnya mereka sering ditolak atau tidak mendapat layanan medis dari rumah sakit umum ketika ingin melahirkan. Tindakan tersebut melanggar Pasal 3 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.”
Sering susah mendapatkan layanan transportasi publik. Misalnya dilarang naik kendaraan umum seperti bis, angkutan kota, pesawat, kereta api, atau kapal. Perbuatan ini melanggar Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yaitu “Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.”
Dikeluarkan dari lembaga pendidikan. Seperti sekolah, kampus, pondok pesantren, dan lain-lain. Hal membuat mereka tidak dapat melanjutkan atau menyelesaikan studinya.
Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi,”Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.”
Tidak diizinkan menikah atau ditolak ketika akan menikah dengan orang yang bukan OYPMK. Perbuatan tersebut melanggar Pasal 10 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, (1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tidak diizinkan membeli atau mendirikan rumah di suatu wilayah atau di suatu perumahan. Perbuatan tersebut bertentangan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yaitu “Setiap dan eningkatkan kualitas hidupnya orang berhak untuk bertempat agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berahlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.”
Dilarang menggunakan tempat ibadah untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi,”Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Perbuatan-perbuatan yang melanggar hak-hak OYPMK seperti di atas tidak bisa terus dibiarkan. Mereka juga manusia yang memiliki HAM yang sama dengan manusia lainnya. Segala tindakan diskriminatif, stigma, dan pelanggaran HAM yang lainnya terhadap mereka harus segera dihapus.
Perlukah intervensi atas stigma dan diskriminasi sehingga dapat mengurangi dampaknya?
Ya. Stakeholder isu kusta sesuai dengan kemampuan, tugas, dan fungsinya harus bergandengan tangan, berkoordinasi, berkolaborasi, untuk bersama-sama membantu memperjuangkan hak-hak OYPMK. Tindakan yang harus dilakukan yaitu melakukan pengarusutamaan isu kusta melalui media massa, media sosial, dan media lainnya. Membantu memberdayakan OYPMK dari sisi ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik. Mendorong negara agar semaksimal menjalankan kewajibannya terkait pemenuhan HAM dari OYPMK.
Kalau kasus serupa di negara lain tentang stigma dan diskriminasi atas orang yang sedang mengalami kusta dan pernah mengalami kusta seperti apa dan bagaimana upaya mengikis stigma dan diskriminasi tersebut?
Sejumlah contoh yang dilakukan negara lain dalam menangani kasus tersebut.
India menghapus kusta, antara lain dengan memberikan obat-obatan dan layanan medis secara gratis, memberikan bantuan sosial, memberikan lapangan kerja kepada OYPMK untuk membuat spare part kendaraan roda empat dan roda dua. Kemudian memproduksi sepatu, sandal, kaki palsu untuk para penyandang disabilitas. Juga menyediakan tanah untuk berkebun atau usaha pertanian.
Etiopia membangkitkan semangat hidup OYPMK dengan memberikan lapangan kerja. Kemudian memberikan ketrampilan untuk membuat produk yang dapat dijual dan memberikan penyuluhan tentang kusta kepada masyarakat menggunakan radio siaran nasional.
Brasil menghapus stigma dan diskriminasi dengan memberlakukan ketentuan yang mengatur tentang penuntutan ke pengadilan.
Jika ada orang yang melakukan tindakan stigma, diskriminasi, dan tindakan lain yang tidak menyenangkan terhadap OYPMK maka orang tersebut dapat diadukan dan dituntut di pengadilan. Brasil juga berupaya menyediakan perumahan dan fasilitas kesehatan yang memadai.
Kolumbia memberdayakan orang yang mengalami kusta dengan memberikan ketrampilan untuk mendukung penghidupannya, memberi kesempatan kerja seperti melukis, membuat barang kerajinan, dan lain-lain. Serta terus melakukan penyuluhan untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap OYPMK.
Filipina memberikan fasilitas kesehatan, menyediakan obat-obatan, dan melakukan workshop kusta untuk OYMPK dan stakeholder isu kusta. Membangun pusat pelatihan ketrampilan, menyediakan kebun sayur, dan buah-buahan.
Bila ruang publik kita tidak ramah terhadap ragam disabilitas, termasuk disabilitas akibat kusta, perlu tidak agar mendorong ruang publik agar ramah pada mereka? Perlukah upaya hukum?
Ya, penting untuk memperbanyak ruang publik dan ruang perjumpaan. Minimal tersedia ruang perjumpaan untuk sesama OYPMK agar mereka bisa saling menguatkan.
Pada saat yang bersamaan perlu terus dilakukan penyuluhan terkait kusta agar masyarakat tidak lagi memiliki pandangan yang salah terhadap OYPMK dan bisa menerima kehadiran mereka. Di sisi lain negara perlu untuk terus didorong agar lebih pro aktif menjalankan kewajiban pemenuhan HAM.
Upaya hukum bisa ditempuh ketika terjadi pelanggaran hukum terhadap OYPMK dengan meminta bantuan kepada berbagai lembaga bantuan hukum. Ketika terjadi kasus pelanggaran HAM, silakan OYPMK menggunakan mekanisme yang ada. Misalnya mengadukan ke Komnas HAM, ke KPAI, ke Ombudsman, dan komisi-komisi lainnya yang relevan dengan kasusnya.
Upaya hukum yang tak kalah penting adalah melakukan kajian dan penelitian terkait beragam kebijakan negara yang mengandung muatan diskriminatif seperti undang-undang, peraturan pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Serta berikan rekomendasi untuk perbaikannya.
Kementerian Kesehatan menargetkan eliminasi kusta pada 2024 mendatang sementara masih ada stigma dan diskriminasi. Seberapa besar hambatan dan tantangan atas program ini?
Tantangannya ada pada tiga faktor. Yaitu OYPMK dan anggota keluarganya, masyarakat, dan negara.
Tiga faktor ini harus saling berkomunikasi dan berkoordinasi dengan serius. Mereka harus memiliki fakta, data, dan informasi yang lengkap. Melakukan analisis terhadap fakta, data, dan informasi dengan cermat, tepat, dan benar. Mengambil tindakan yang akurat, sungguh-sungguh, berkelanjutan dengan dukungan sumber daya yang mencukupi. Yang terpenting harus ada Satuan Tugas (Satgas) Kusta. Satgas ini yang mengawal dengan serius target eliminasi kusta. Tanpa ada Satgas akan susah untuk memenuhi target tersebut.
Hal lain yang penting adalah memperkuat basis komunitas. Artinya penting untuk dibentuk kelompok kerja (Pokja) sampai di tingkat RT/RW untuk bersama-sama menghapus stigma dan diskriminasi terhadap OYPMK dan anggota keluarganya.
Untuk stigma dan diskriminasi, apa saat ini sudah jauh berkurang dan orang yang sedang mengalami kusta dan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) sudah jauh lebih baik?
Kondisi saat ini saya tidak tahu. Karena saya tidak memiliki fakta, data, dan informasi terbaru. Tetapi setelah lebih dari 10 tahun, tahun 2000 sampai 2023, saya berharap data penyandang kusta berkurang.
Bagaimana penilaian atas kiprah lembaga atau organisasi yang konsern dan memperjuangkan pada isu kusta dan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas?
Saya pikir lembaga yang peduli terhadap kusta perlu dikloning menjadi lebih banyak. Akan lebih baik bila di 540 kabupaten/kota di Indonesia ada lembaga yang konsern kepada isu kusta.
Terkait Netherland Leprosy Relief (NLR) saya pikir mereka telah memberikan kontribusi yang positif dan besar terhadap upaya penghapusan kusta di Indonesia. Juga lembaga dari Jepang yaitu The Nippon Foundations (TNF), mereka banyak berperan membantu para OYPMK di Indonesia. Tentunya berbagai lembaga kusta asli Indonesia seperti Permata, mereka juga terus aktif memberdayakan OYPMK. ***