JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Sejumlah anak sekolah asyik nongkrong pada suatu sore.
Mereka duduk-duduk di teras sebuah minimarket di Jakarta Selatan. Di dekatnya ada sebuah booth vape. Seragam SMA masih melekat di tubuh mereka.
Di atas meja berserakan kopi kaleng, teh kotak, dan rokok. Sembari berbincang-bincang santai, mereka mengisap rokok. Abu rokok bertaburan di sekitar tempat mereka duduk.
Tiga dari mereka sebut saja Jung, Ko, dan Youyou (bukan nama sebenarnya). Mereka bercerita kalau nongkrong usai sekolah. Ketiganya mulai merokok sejak duduk di bangku SMP dan SMA. Orangtua mereka pun tahu soal kebiasaan merokok mereka ini.

Youyou mengisahkan orang tuanya yang marah gegara dia merokok karena orang tuanya sendiri bukan perokok. Tetapi lama-lama orang tuanya membiarkan walau sempat menghukumnya dengan tidak memberinya uang jajan selama sebulan.
“Tidak dikasih uang jajan tetep saja dibagi rokok sama teman. Lama-lama dibolehkan merokok,” ucap Youyou.
Dia mengenal rokok dari pergaulan lingkungan tempat tinggalnya. Orang-orang dewasa di sekitarnya biasa merokok.
Sedangkan Jung dan Ko hanya dinasihati orang tuanya ketika kedapatan merokok.
Uang untuk membeli rokok berasal dari uang saku yang diperoleh Jung, Ko, dan Youyou dari orang tua mereka. Uang sakunya tidak besar sehingga mereka membeli rokok secara ketengan. Jumlahnya pun menyesuaikan anggaran.
“Paling dua batang, tiga batang,” kata Ko.
Rokok seolah menjadi bagian dari mereka. Merk rokok tertentu pun sudah melekat pada diri mereka. Jung, Ko, dan Youyou mengaku punya merk rokok kesukaan tertentu. Di samping itu merasa susah menghentikan kebiasaan merokok ini.
“Karena lihat teman merokok jadi kepengin. Ujung-ujungnya tidak bisa berhenti,” ungkap Jung.
Perdagangan Rokok di Kawasan Sekitar Sekolah
Warung atau mini market yang menjual rokok bisa ditemukan di kawasan sekitar sekolah. Ada pula kedai shisha atau booth vape. Ini menandakan paparan promosi rokok terhadap anak besar sekali.
Temuan ini bertautan dengan penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI).
Lembaga tersebut meluncurkan laporan penelitiannya pada 2021 yang menyebutkan sebanyak 61,2 persen warung rokok berada lebih kurang 100 meter dari area sekolah di wilayah DKI Jakarta.
Penelitian ini menunjukkan kedekatan antara warung rokok dengan lokasi sekolah sehingga memudahkan anak sekolah menjangkau rokok.
“Selain harga rokok murah, lokasi sekolah dekat dengan warung rokok,” ucap Ketua Peneliti Risky Kusuma Hartono.
Dia menyebutkan di Jakarta ada sebanyak 8.731 warung rokok. Kurang lebih ada 15 warung setiap 1 kilometer persegi jika dihitung dari kepadatan dan kurang lebih ada 1 warung setiap 1000 penduduk di DKI Jakarta.
Sementara lokasi kedekatan atau radius warung rokok dengan jarak lokasi sekolah yang terungkap itu 21 persen dekat dengan lokasi SD, SMP 26,05 persen, dan SMA sekitar 15 persen.
“Artinya ini sejalan dengan keinginan industri rokok untuk menargetkan anak,” terang Risky.
PKJS UI juga sempat mendatangi 62 dari 8731 warung rokok dan mendapati marketing mix yang mencengangkan.
“Sudah boleh beli secara ketengan dan bisa berutang lagi,” ungkapnya. “Rokok mestinya harganya mahal ketika dijual per bungkus namun dengan boleh membeli ketengan dan bisa berutang maka bisa dijangkau siapa pun termasuk anak usia sekolah.”
Rokok menjadi barang paling laku dijual khususnya di warung-warung.
Penjualan rokok cara dengan cara batangan ini menghambat efektivitas pengendalian konsumsi tembakau. Padahal satu cara untuk pengendalian tembakau adalah dengan menaikkan harga mengikuti mekanisme kenaikan cukai rokok. Membolehkan pembelian rokok secara batangan akan membuat kenaikan harga rokok tidak terlalu terasa.
Di samping itu di warung-warung tersebut juga ditemukan spanduk-spanduk tentang rokok atau terlihat ada tampilan produk rokok. Sebagian besar warung memiliki media promosi rokok berupa spanduk sebanyak 80,7 persen.
Padahal lingkungan pendidikan masuk dalam Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Namun KTR terbatas hanya sampai gerbang lokasi sekolah. Sementara lokasi sekitar di luar sekolah tidak dalam regulasi KTR.
Risky menilai,“Regulasi paling efektif adalah melarang penjualan rokok ketengan. Lebih baik lagi menerapkan zonasi. Yaitu larangan menjual rokok dalam radius yang dekat dengan lokasi sekolah.”
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengendalian produk tembakau melarang penjualan rokok pada anak dan wanita hamil. Tetapi tidak mencantumkan poin sanksi. Menurutnya, penambahan poin sanksi sangat diperlukan di peraturan tersebut.
“Di Amerika Serikat misalnya, tindakan menjual rokok ketengan merupakan ilegal dan akan dikenakan sanksi bagi yang ketahuan melanggar. Untuk itu perlu adanya pengawasan maupun laporan aktif dari masyarakat,” ungkapnya.
Lemahnya Pengendalian
Sevy Kusdianita dan Primadiana Yunita menyebutkan perusahaan yang bergerak di industri tembakau atau perusahaan rokok memiliki sejumlah strategi taktik industri untuk menolak pengendalian tembakau. Ini ditulis dalam “Ekonomi Politik Tembakau: Kemampuan Industri Tembakau Multinasional dalam Memengaruhi Kebijakan Tobacco Control di Indonesia (Journal of World Trade Studies. Vol 5 No 1 Tahun 2015).
Mereka menuliskan salah satunya soal perlindungan dan pendidikan bagi remaja yang bertujuan untuk memberi kesan bahwa mengonsumsi tembakau merupakan tindakan orang dewasa yang tidak pantas dilakukan remaja dan anak-anak. Namun realitas di lapangan tidak demikian.
Permasalahan anak-anak sekolah yang merokok disebut Sevy Kusdianita sebagai “upaya perlindungan yang dilakukan oleh perusahaan rokok tidak tercapai atau tidak tepat sasaran.”
Menurutnya, anak-anak di bawah usia legal untuk merokok. Tindakan mereka merokok akibat faktor lingkungan yang turut berperan dalam membentuk kebiasaan dan minimnya edukasi yang tepat sasaran.
Dia juga menilai kebijakan pembelian atau konsumsi rokok saat ini belum diterapkan. “Misalnya perlu kartu identitas untuk mengetahui seseorang sudah memasuki usia legal untuk membeli atau mengonsumsi rokok.”
Di sisi lain upaya pengendalian tembakau nampak sangat lemah ketika cukai rokok terus menjadi sumber pendapatan negara. Hal ini dimanfaatkan perusahaan rokok untuk memengaruhi kebijakan pemerintah.
“Structural power dan relational power perusahaan rokok berperan dalam memengaruhi pengambilan kebijakan tentang rokok dan tembakau di Indonesia,” terang Sevy Kusdianita.
Situasi Sudah Darurat
Harga rokok yang terjangkau membuat anak sekolah dengan mudah mendapatkan rokok.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) hal tersebut sudah menunjukkan sebenarnya Indonesia darurat perokok anak.
Plt Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kemen PPPA Anggin Nuzula Rahma mengakui adanya regulasi yang belum jelas sehingga memandang perlunya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengendalian produk tembakau.
“Memang belum ada regulasi yang jelas terkait ini sehingga kami memandang perlu adanya revisi PP 109 Tahun 2012 tentang pengendalian produk tembakau,” ucapnya.
Anggin melanjutkan,”Perlu terus mendorong penyelesaian revisi PP 109 Tahun 2012 yang telah tertunda selama 3 tahun. Menurut Bappenas jika tidak ada kebijakan yang kuat dan komitmen dari seluruh sektor terkait untuk melindungi anak maka perokok anak akan meningkat menjadi 15,7 juta pada 2030.”
Kemen PPPA terus berupaya mendukung target penurunan prevalensi perokok anak dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) RPJMN 2020-2024 sebesar 8,7 persen. Dengan mengintervensi lima target utama guna melindungi anak Indonesia dari bahaya rokok.
Yakni lewat melalui Forum Anak sebagai Pelopor dan Pelapor (2P) untuk anak-anak, PUSPAGA (Pusat Pembelajaran Keluarga) untuk keluarga, kebijakan Sekolah Ramah Anak, implementasi kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), dan menginisiasi dan mendorong beragam fasilitas umum ramah anak.
Dalam melangsungkan kampanye pengendalian rokok, Kemen PPPA melibatkan Forum Anak hingga tingkat Kecamatan dan Desa.
Tetapi ini upaya yang tak mudah. Menjadi tantangan tersendiri ketika kebijakan daerah belum sejalan. Seperti masih mendukung IPS rokok, informasi yang minim terkait layanan berhenti merokok, kurangnya jejaring yang mendukung saat menyelenggarakan kampanye pencegahan rokok, dan banyak kegiatan kreatifitas anak dan remaja yang disponsori industri rokok. Kemudian sebanyak 80,35 persen KK masih menerima IPS rokok serta masih bekerjasama dengan perusahaan rokok dalam bentuk CSR.
Sejumlah pelaku industri tembakau dan asosiasi produsen rokok telah diminta tanggapan terkait artikel ini, namun belum ada yang memberikan jawaban.
Dorongan Kebijakan
Perlu ada upaya penuh agar kebijakan pengendalian tembakau tidak dikelabui. Karena itu sejumlah pemerintah daerah mengatur pelarangan terkait iklan, promosi, dan sponsor (IPS) rokok.
Seperti peraturan daerah yang mengatur pelarangan IPS rokok di luar ruang melalui Peraturan Gubernur (Pergub) DKI No. 1 Tahun 2015 tentang Larangan Penyelenggaraan Reklame Rokok dan Produk Tembakau pada Media Luar Ruang. Kemudian Kota Payakumbuh, Kota Padang Panjang, Kota Pekalongan, dan Kota Bogor menambahkan pasal tentang pelarangan iklan rokok di seluruh wilayah pada Perda Kawasan Tanpa Rokok.
Plt Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kemen PPPA Anggin Nuzula Rahma mengatakan,”Ini merupakan bentuk perlindungan maksimal yang bisa diberikan oleh pemerintah daerah kepada setiap anak agar terhindar dari berbagai bentuk penyalahgunaan zat adiktif termasuk rokok.”
Strategi lain dengan meningkatkan edukasi bagi keluarga sebagai 2P (pelopor dan pelapor) untuk menciptakan rumah ramah anak. Salah satunya adalah bebas dari asap rokok dan melibatkan pemangku kepentingan terkait dalam kampanye “Anak Indonesia Hebat Tanpa Rokok” dan memperluas kebijakan kawasan tanpa rokok.
Anggin juga menyampaikan perlunya pembatasan akses rokok. Terutama pada anak.
“Kita perlu membatasi akses pembelian rokok melalui pemberlakuan lisensi penjualan produk tembakau diiringi dengan meningkatkan edukasi berhenti merokok dan menyediakan layanan berhenti merokok, serta larangan menjual eceran, menjual pada anak, dan pengaturan harga jual rokok.”
Ini sejalan dengan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) yang terus mendorong kebijakan pengendalian tembakau ke sejumlah kementerian. Seperti meminta Kementerian Perdagangan memperketat penjualan rokok. kemudian ke Kementerian Keuangan untuk menaikan tarif cukai rokok sehingga tidak ada harga produk yang lebih murah.
“Kalau harga per bungkusnya naik maka tidak ada pilihan produk rokok yang lebih murah. Termasuk harga per batangnya,” ucap Risky Kusuma Hartono.
Kementerian Pendidikan juga diharapkan lebih mengawasi para anak didik dan memberikan sanksi tegas kalau ketahuan merokok. Kemudian mendorong regulasi pengendalian tembakau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 ke Kementerian Kesehatan.
“Karena di dalamnya belum diatur terkait pelarangan penjualan rokok per batang. Adanya hanya anak-anak dan perempuan hamil dilarang membeli rokok. Itu saja. Tetapi tidak ada sanksinya juga,” lanjutnya.
Padahal Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah mendorong agar Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 direvisi.
“Namun sepertinya ada beberapa kementerian lain yang alergi. Jadi tidak melakukan revisi. Tetapi justru mendorong Peraturan Presiden tentang Industri Hasil Tembakau. Ini ‘kan lebih mengarah ke pelestarian tembakau. Ini yang menjadi tantangan.”
Baru-baru ini Presiden Jokowi menyampaikan pelarangan penjualan rokok ketengan atau batangan seperti dikutip dari situs Sekretariat Kabinet pada Selasa (27/12/2022).
Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang ditetapkan pada 23 Desember 2022. Di dalamnya terdapat Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 1O9 Tahun 2012 dengan dasar pembentukannya Pasal 116 Undang-Undang Tahun 2009 Nomor 36 tentang Kesehatan.
Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 yang salah satunya melarang penjualan rokok ketengan ini disambut baik PKJS UI.
“Ini akan sangat bermanfaat karena mendukung efektivitas kenaikan tarif cukai rokok sehingga semakin tidak terjangkau dan semakin membatasi pembelian rokok terutama kepada anak-anak,” kata Risky.
“Namun Keputusan Presiden tersebut masih memerlukan regulasi yang lebih konkrit. Ini yang perlu kita kawal bersama. Termasuk regulasi payung utama dan regulasi teknis yang mengatur sanksi apabila terdapat pelanggaran,” pungkasnya. ***