JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Usulan penundaan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 yang digaungkan pertama kali oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menuai polemik.
Bukan tanpa alasan, Bahlil mengusulkan penundaan pesta demokrasi tersebut karena melihat situasi perekonomian negara sedang sulit, utang menggunung dan berapa biaya Pemilu hingga kini belum dianggarkan. Sumbernya juga belum jelas dari mana.
Di sisi lain, pandemi sedang merebak dan belum dapat diprediksi kapan akan berakhir. Ramai-ramai kampanye dan pencoblosan bisa membuat makin banyak rakyat yang terpapar. Alasan lainnya, rakyat masih menghendaki Jokowi melanjutkan kepemimpinan.
Bak gayung bersambut, usulan Bahlil pun mendapat dukungan tiga Ketua Umum partai politik: Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar) dan Zulkifli Hasan (PAN). Ketiganya telah mengemukakan usulan agar Pemilu 2024, yang jadwalnya telah disepakati pemerintah, DPR, KPU untuk dilaksanakan pada 14 Februari 2024, ditunda.
Sebagaimana diketahui, Pemilu 2024 ini adalah Pemilu serentak, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD.
Usulan ini lantas mendapat perlawanan yang cukup sengit. Bukan hanya dari kubu oposisi. Bahkan, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan partainya tak menginginkan perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode maupun perpanjangan masa jabatan presiden.
Hasto mengatakan, Presiden Joko Widodo pun tak menginginkan hal tersebut.
Jika polemik ini dibiarkan berkepanjangan tanpa solusi, maka diprediksi polarisasi rakyat akan semakin tajam dan runcing. Bisa dikatakan lebih buruk dibanding polarisasi masa Pilpres 2019 lalu.
Aktivis 98 yang juga Ketua Bidang Politik Pengurus Pusat (PP) KB FKPPI Arif Bawono lantas menilai, usulan penundaan pemilu atau pun penambahan masa jabatan presiden saat ini masih tertutup.
Diakuinya, konstitusi, UUD 1945, secara tegas di Pasal 22E UUD 45 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
“Meskipun terhalang oleh konstitusi, namun hal itu (Penundan Pemilu) juga bukan hal yang mustahil. Sebab, pada dasarnya UUD 1945 pun merupakan konstitusi yang terbuka terhadap perubahan. Ingat Pasal 37 UUD 1945 secara umum membahas tentang perubahan UUD,” ujar Arif Bawono, dalam keterangan tertulis yang diterima Poskota.co.id, Rabu, 16 Maret 2022.
Pria yang juga akrab dipanggil Boy menambahkan, dalam pasal tersebut, UUD dapat diubah jika sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR. Usul perubahan pasal dapat disampaikan dalam sidang MPR.
Setiap usulan perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan. Usulan perubahan ini wajib disertai dengan alasan. Perubahan dapat dilakukan terhadap pasal-pasal yang UUD 1945, kecuali pasal yang mengatur tentang bentuk negara.
Jadi, secara teknis, mengubah UUD 1945 melalui proses amandemen bisa saja dilakukan untuk menindaklanjuti wacana penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden dan penambahan periodesasi masa jabatan presiden.
Namun, jika melihat dampak dari usulan penundaan Pemilu berkaitan langsung dengan ketentuan-ketentuan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya. Penundaan Pemilu, artinya mereka akan memperpanjang masa jabatan mereka sendiri.
Ini berarti, akan ada konflik kepentingan dalam pengajuan usul amandemen. Sebab, hasil amandemen itu bisa dipastikan akan menguntungkan para pengusul dan pembahas.
"Jika dipaksakan untuk melakukan amandemen untuk perpanjangan masa jabatan dan penundaan Pemilu maka dapat dipastikan akan membawa dua dampak langsung," katanya.
Pertama, paparnya, secara hukum produk UU yang rawan konflik keperntingan ini bisa dimasukan dalam delik korupsi. Setidaknya merupakan persekongkolan jahat. Kedua, amandemen tidak akan memiliki dasar legitimasi yang cukup. Apakah konstitusi yang tidak legitimate akan mampu bertahan lama?
Jika amandemen tetap dipaksakan dan dilaksanakan, maka para penyelenggara negara itu semuanya mungkin sah tapi tidak terlegitimasi. Maka risiko terbesarnya adalah, pembangkangan rakyat untuk mematuhi mereka. Rakyat akan jalan sendiri-sendiri menurut maunya sendiri.
"Rakyat memiliki alasan membangkang kepada Presiden, Wakil Presiden, para menteri, membangkang kepada DPR, DPD dan juga kepada MPR. Rakyat memiliki alasan menolak keputusan apapun yang mereka buat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal," ujarnya.
“Solusi paling memungkinkan adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat sebagai pemilik sah republik ini. Maka, tanyakan langsung ke rakyat maunya bagaimana? Hidupkan kembali beleid referendum,” imbuh Boy.
Menurut Boy, kita pernah memiliki UU No. 5 tahun 1985 tentang Referendum. Dalam Pasal 1 huruf a UU tersebut disebutkan Referendum adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945.
“Sayangnya, UU ini dihapuskan melalui UU No. 6 tahun 1999. Semangat Reformasi yang diperjuangkan mahasiswa, telah dibajak di pekan pertama oleh orang tua di parlemen dengan menghapus UU Referendum dan memperkosa konstitusi seenaknya. Saat ini, sebagian mereka berteriak amandemen UUD1945 terlalu liberal,” ujarnya.
Lihat juga video “Konvoi dari Istana ke Hotel Kempinski Jakarta, Jokowi Lepas Pembalap MotoGP”. (youtube/poskota tv)
Polemik masa jabatan presiden dan penundaan pemilu ini merupakan saat tepat untuk menghidupkan kembali referendum.
Hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan dan konstitusi hanya bisa diputuskan oleh rakyat selaku pemilik sah republik ini. Pemerintah dan parlemen hanyalah penyelenggara negara.
"Jangan sampai ini keterusan, apalagi kita semua mahfum bagaimana oligarki bekerja di eksekutif, legislatif dan bahkan yudikatif. Jika semua hal termasuk kedaulatan kita percayakan pada mereka. Negara dan bangsa ini akan semakin tergadai,” pungkas Arif. (ril/ys)