Keinginan segelintir kelompok untuk referendum bagi Papua bukan lagi penentuan nasib sendiri namun masuk kategori separatisme.
"Bukan hanya hukum nasional yang melarang referendum bagi Papua, melainkan juga hukum internasional," kata mantan Dubes Jerman yang saat ini menjadi Dekan Fakultas Hukum Univesitas Pancasila tersebut.
Menurutnya, referendum bagi penentuan nasib sendiri hanya dapat dilakukan dalam konteks kolonialisme dan ini sudah dilakukan oleh Papua bersama seluruh wilayah NKRI lainnya bersama-sama pada 17 Agustus 1945.
Terkait konteks Self Determination dalam hukum internasional, bahwa suatu entitas dapat memisahkan diri dari negara hanya terbatas untuk negara kolonial yang digunakan untuk eksploitasi, dan bukan untuk negara berdaulat.
Sementara itu, pemisahan Papua dengan Indonesia tidak dapat dilakukan karena Indonesia adalah negara yang berdaulat.
“Indonesia juga telah memenuhi penghormatan terhadap internal self-determination karena telah memberikan otonomi khusus di Papua yang mewujudkan supremasi hukum, perlindungan HAM dan peningkatan serta kesejahteraan bagi rakyat Papua. " jelasnya pada Webinar History of Papua Integration and Indonesian Nationalism, Selasa (30/11/2021).
"Karena itu jika ada upaya melepaskan dari kedaulatan Indonesia dengan secession campaign, hal itu tidak memiliki basis legal hukum internasional. Maka sudah selayaknya ditumpas dengan cara-cara penegakan hukum," katanya lagi.
"Apapun yang terjadi di Papua, seperti penembakan dan kerusuhan adalah internal affair dari sebuah negara, sehingga negara wajib melakukan penindakan hukum. Apalagi Isu Papua sebenarnya telah selesai sejak lama namun hanya digunakan sebagai alat oleh oknum-oknum atau anasir,” imbuhnya.
Senada dengan itu, mantan Anggota Ombudsman, Dr. Ahmad Suaedy menyoroti bahwa yang terpenting adalah adanya jaminan hak-hak substansial masyarakat Papua, yang menjadikan kedaulatan sebagai warga NKRI. Jaminan tersebut meliputi tradisi kesukuan dan hubungan rakyat dan tanah.
“Perlu dipertimbangkan secara kelembagaan dan regulasi untuk menjamin hal tersebut. Dalam perkembangannya, sejak adanya UU 21/2001 hingga amandemen UU 3/2021 integrasi negara dan politik telah mengikuti perubahan tersebut dengan menjadi keadilan demokrasi yang substansial," katanya.
"Hak-hak ekspresi dan identitas kolektif mereka tidak boleh dihilangkan untuk kemudian diasimilasikan menjadi identitas nasional itu sendiri. Identitas dan hak ekspresi harus tetap dijamin sebagai bagian dari identitas nasional,” sambung penulis buku Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001 (2018).
Menurut Dekan FIN Unusia tersebut, beberapa langkah mungkin bisa diusulkan, antara lain penghargaan atas mekanisme adat dan kesukukan sebagai kekuatan budaya dan politik melalui MRP, tidak melalui parpol mungkin akan mengubah tradisi dari konflik dan perang menjadi kerjasama dan konsensus/musyawarah.