JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Perayaan Hari Anak Nasional tahun ini, dinilai masih banyak anak-anak yang menjadi korban dalam berbagai hal.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, ketika Indonesia diserang virus Corona diawal tahun 2020, kasus-kasus pelanggaran hak anak juga terus merajalela dan tak terkendali.
Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait mengatakan, sejak awal Pandemi Covid-19 dan hingga saat ini anak-anak masih terus menjadi korban.
Fakta menunjukkan ada banyak peristiwa pelanggaran hak anak yang tidak bisa diterima akal sehat manusia.
"Ada banyak anak dilingkungan terdekat anak di Indonesia menjadi korban kekerasan seksual terhadap anak," katanya, Kamis (22/7).
Dikatakan Arist, dengan banyaknya kasus, pihaknya pun tak henti-hentinya menerima banyak laporan pelanggaran hak anak.
Dimana sepanjang tahun 2019 hingga pertengahan tahun 2021, angka laporan yang diterimanya mencapai 52 persen.
"Kasus itu mulai dari pelanggaran hak anak didominasi serangan kejahatan seksual baik dilakukan secara individual maupun berkelompok seperti apa yang kita kenal dengan serangan persetubuan bergerombol," ujarnya.
Dari semua kasus yang masuk itu juga, kata Arist, pelakunya justru orang terdekat seperti orangtua kandung maupun tiri, kakak, paman kandung, guru, serta teman sebaya anak.
Tidak jarang justru keluarga justru ikut membantu dan memfasilitasi terjadinya kekerasan seksual itu.
"Dari data itu menunjukkan betapa menderitanya anak-anak kita dengan posisi tidak mendapat pertolongan dari kita," ungkapnya.
Selain itu, kata Arist, ada banyak kasus juga yang bisa kita saksikan dan temukan ditengah-tengah masyarakat.
Bahkan, ada banyak kasus anak terpaksa menjadi korban eksploitasi ekonomi, bahkan anak usia remaja di eksploitasi secara politik untuk kepentingan politik kelompok tertentu.
"Anak-anak kita itu dibiarkan dan diajarkan paham-paham radikalisme, ujaran-ujaran kebencian dan intoleransi, diajarkan untuk membenci sesamanya dan menolak aturan dan kebijakan negara dengan berbabagai cara," terangnya.
Arist menambahkan, banyak pula anak di berbagai tempat di Indonesia menjadi korban perbudakan seksual, anak menjadi korban eksploitasi seksual komersial.
Bahkan anak diperdagangkan, diculik dan dijual untuk tujuan adopsi ilegal baik di dalam negeri maupun diluar negeri.
"Dan ditengah Pandemi Covid-19 ini, anak menjadi pelampiasan amarah orangtua, dianianiaya di siksa bahkan dihilangkan hak hidupnya dengan cara tak wajar," ungkapnya.
Kasus yang paling anyar, kata Arist, dimana pada dua Minggu lalu di Kabupaten Kampar Riau, telah terjadi peristiwa penganiayaan dan pembunuhan terhadap seorang putri usia 7 tahun.
Korban meregang nyawa dengan serangan kekerasan dengan cara diikat lalu dimutilasi kemudian dikuburkan dalam kondisi bernyawa hanya karena perselihan antara orangtua dan tante korban.
"Bahkan ada juga anak dimanfaatkan untuk menjadi kurir narkoba maupun korban pornografi oleh orangtuanya, maupun agen-agen perbudakan seksual dan eksploitasi seksual komersial serta agen-agen Narkoba," paparnya.
Dari semua kasus yang terjadi, Arist pun berharap pemerintah untuk lebih dalam melindungi anak-anak, karena penegakan hukum juga masih sangat lemah.
Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tak mampu berbuat banyak untuk kerja penegakan hukum karena fakta dana operasionalnya sangat terbatas sekali.
Bahkan, Jaksa Penuntut Umum juga belum sepahaman dalam menangangi perkara-anak, karena ada banyak kasus kasus anak yang ditolak oleh Jaksa.
"Penerapan UU perlindungan anak yang sudah tersedia belum diterapkan aparat penegak hukum. Misal UU RI No. 17 Tahun 2016 yang mengatur bahwa ketentuan UU ini menerapkan bahwa kejahatan seksual merupakan tindak pidana kejahatan luar biasa yang dapat diancam pidana seumur hidup bahkan hukuman mati," tukasnya. (ifand)