“Ketahanan pangan bukan sebatas tuntutan. Bukan pula sekadar memenuhi kebutuhan, tetapi menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya sehingga terhindar dari ketergantungan impor.”
-Harmoko-
Ketahanan pangan menjadi masalah krusial masa depan bangsa yang harus segera diselesaikan sejak sekarang. Ini bukan saja karena kian bertambahnya konsumsi pangan, utamanya beras, seiring laju pertumbuhan penduduk, di tengah merosotnya produksi beras nasional.
Kian menyempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan, semakin berkurangnya jumlah petani, penggarap dan buruh tani akibat penghasilan tidak menjanjikan, menjadi penyebab hasil produksi pangan dalam negeri, cenderung menurun setiap tahun.
Dampaknya, harga pangan naik karena stok terbatas, di tengah permintaan yang
terus melonjak. Maka, impor pangan pun dilakukan setiap tahun.
Era kini, impor pangan kian sulit dilakukan menyusul pembatasan ekspor komoditas pangan bagi negara pengekspor, akibat pengaruh geopolitik dan perubahan iklim.
Negara dimaksud, tentunya, lebih mendahulukan kebutuhan dalam negerinya,
ketimbang mengekspor.
Sederet masalah tersebut hendaknya menjadi penguat kebijakan food security tidak bisa ditunda – tunda lagi. Sekarang harus dieksekusi. Ini memerlukan konsistensi regulasi di bidang pertanian, produksi komoditas pangan nasional, utamanya beras sebagai makanan pokok bangsa kita.
Pemerintahan baru mendatang harus berani mencoret catatan rencana impor pangan, ganti dengan “ketahanan pangan”. Tentu melalui kebijakan yang terukur dengan serangkaian upaya sungguh – sungguh dan terus menerus, bukan hanya di atas kertas, tetapi jauh dari realitas.
Aksi nyata menciptakan ketahanan pangan lebih dibutuhkan, ketimbang euforia dan retorika belaka.
Memang sulit untuk memulai karena akan banyak hambatan, tantangan dan beragam kepentingan di dalamnya. Namun, demi kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya, ketahanan pangan wajib dijalankan. Meski sedikit tetapi berjalan, ketimbang tidak memulai sama sekali, hanya heboh di tataran perumusan kebijakan.
Kita sadar betul, penduduk terus tumbuh dan berkembang. Tidak hanya jumlahnya, juga persebarannya, dan tingkat kepadatannya.
Diprediksi akan mencapai 350 juta pada tahun 2045, kecuali jika laju pertumbuhan terus melambat di kisaran angka 0,6 7 persen setiap tahunnya, jumlahnya bisa di bawah itu. Kini laju pertumbuhan di angka 1,13 persen (BPS 2023).
Sebut saja, laju pertumbuhan melambat, tetapi jumlahnya terus membesar, sementara lebih dari 98,35 % persen rumah tangga di Indonesia mengonsumsi beras (makan nasi).
Kini dengan 278 juta jiwa (proyeksi jumlah penduduk 2023), dengan rata – rata konsumsi 6,81 kg/kapita/bulan, maka kebutuhan beras yang wajib disediakan sekitar 35, 3 juta ton setahun, menempatkan Indonesia sebagai konsumen beras terbesar di dunia, setelah China, India dan Bangladesh.
Konsumsi beras tahun ini dan tahun depan,akan bertambah, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Menjadi persoalan karena jumlah produksi belum bisa memenuhi kebutuhan. Sejak Oktober tahun lalu hingga awal tahun ini, produksi beras berada pada level terendah, ditaksir 2,28 juta ton sebulan, sementara konsumsi diperkirakan 2,55 juta ton per bulan. Terdapat defisit.
Mencuat pendapat, melihat kondisi yang ada sekarang, negeri kita selamanya akan defisit, terus impor sebagai solusi instan. Kecuali ada gerakan massal menciptakan ketahanan pangan dengan melibatkan seluruh elemen bangsa.
Ada keputusan politik yang didukung oleh rakyat melalui para wakilnya di lembaga legislatif.
Merujuk pada UU No 18/2012 tentang Pangan, disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah "Kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan".
Maknanya tuntutan produk pangan , lebih – lebih di era sekarang, tidak sebatas
kuantitas – jumlahnya yang terpenuhi, tetapi tersedianya pangan yang berkualitas lebih dari mencukupi.
Ini perlu upaya nyata dan sungguh – sungguh melalui kebijakan pro pangan rakyat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom ”Kopi Pagi” di media ini.
Ketahanan pangan bukan sebatas tuntutan. Bukan pula sekadar memenuhi kebutuhan, tetapi menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya sehingga terhindar dari ketergantungan impor.
Memperoleh bahan pangan merupakan hak asasi sebagaimana tersebut dalam
pasal 27 UUD 1945 dalam rangka memberikan penghidupan yang layak bagi
manusia. (Azisoko)