“Sikap ojo dumeh, jika diterapkan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, akan menjadi kekuatan besar dalam membangun harmoni, guyub dan rukun sebagai upaya memajukan bangsa dan negara, menyejahterahkan dan membahagiakan rakyatnya."
-Harmoko-
Kita sering diajarkan agar jangan berlebihan menyikapi sesuatu keadaan (soal baik maupun buruk). Jangan berlarut menyesali keadaan akibat sebuah kegagalan, dan jangan pula sombong (ojo dumeh) ketika mendapat sebuah kesuksesan.
Sering disebut juga bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda, sedangkan kesuksesan awal kemunduran, jika hanya dibanggakan, lebih lebih untuk disombongkan.
Sukses hendaknya disyukuri, dengan cara merawatnya, menjaganya, memeliharanya, sedapat mungkin mengembangkan, karena sukses itu sejatinya adalah buah dari kegagalan.
Sejarah mencatat, tak sedikit tokoh hebat dunia yang diawali dengan kegagalan dan kegagalan.
Di bidang sains kita kenal Albert Einstein ( teori relativitas), Thomas Alva Edison (penemu lampu pijar, alat voting elektronik), Alexander Graham Bell (penemu telepon), dan masih banyak lagi.
Di bidang teknologi informasi, sebut saja Steven Paul Jobs dan Mark Elliot Zuckerberg. Tentu masih ribuan tokoh hebat dunia lainnya, termasuk di bidang politik.
Hanya saja, setelah mereka sukses bukan lantas menyombongkan diri - pongah, melainkan semakin rendah hati. Semakin berisi bertambah merunduk yang mengantarkannya semakin bertambah hebat.
Dengan kata lain, mereka bukan terpesona dengan kehebatannya. Tidak terlena dengan pujian dan sanjungan. Kehebatan yang didapat senantiasa dirawat, bukan untuk disombongkan.
Dalam filosofi Jawa juga diajarkan agar kita tidak pongah dikenal dengan istilah "ojo dumeh". Ojo = jangan. Dumeh= mentang-mentang.
Ajakan untuk selalu introspeksi diri ketika seseorang sudah dihinggapi sifat "dumeh" karena telah menyandang sejumlah predikat baik harta benda, pangkat, jabatan dan kedudukan.
Ojo dumeh adalah filter agar tidak berperilaku berlebihan yang sangat dibutuhkan di era kekinian, pasca pemilu 2024.