Kopi Pagi: Kemandirian Menuju Indonesia Emas (3)

Senin 19 Agu 2024, 08:27 WIB
Kopi Pagi: Kemandirian Menuju Indonesia Emas (3)

Kopi Pagi: Kemandirian Menuju Indonesia Emas (3)

Pengantar: “Menyongsong peringatan HUT ke-79 Kemerdekaan RI, melalui

kolom ini disajikan tulisan berseri mengenai “Kemandirian Bangsa Menuju

Indonesia Emas”. Tulisan dimuat setiap hari Senin dan Kamis. (Azisoko).

“Harga yang fluktuatif tak hanya akan mengganggu pembangunan pertanian

untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan, juga berdampak buruk

bagi masyarakat secara keseluruhan..”

-Harmoko-

Berdikari secara ekonomi - kita sebut saja, kemandirian ekonomi menjadi kunci menuju Indonesia Emas, negara yang tangguh, kuat dan hebat.

Ketidakmampuan kemandirian ekonomi akan berdampak buruk, salah satunya bisa mengembalikan pada masa penjajahan oleh bangsa lain.

Tentu bukan fisik, tetapi secara ekonomi yang efeknya tidak kalah mengenaskan, mengingat tidak kasat mata, tetapi nyata adanya.

Acap dikatakan neokolonialisme adalah penjajahan by proxy, penjajahan by remote control, penjajahan dari jauh. Kekuatan modal asing yang menguasai, kemudian menjerat negeri dan rakyatnya hingga tak berdaya, menjadi salah satu bentuknya.

Kemandirian atau berdikari secara ekonomi bukan berarti menolak semua modal asing, menutup diri untuk bekerja sama dengan negara lain di dunia.

Guna membangun kemandirian perlu memperluas kerja sama dengan dunia luar, dengan bangsa-bangsa lain, hanya saja kerja sama yang sederajat dan saling menguntungkan, bukan menjadikan ketergantungan kepada negara lain.

Untuk meningkatkan dan memperluas ekspor produk kita perlu kerja sama dengan negara lain. 

Guna memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri perlu impor, misalnya beras dari negara lain, akibat produksi beras dalam negeri belum mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya, setidaknya sebagai cadangan, jika terdampak kekeringan.

Menyoal impor beras, seperti diberitakan, proyeksi neraca beras nasional 2024 terkini yang dimutakhirkan pada Mei 2024, negara kita berpotensi akan mengimpor beras hingga 5,17 juta ton sepanjang tahun 2024. 

Jika rencana impor Mei- Desember 2024 sebesar 3,40 juta beras dilakukan, menambah realisasi impor Januari- April 2024 yang telah mencapai 1,77 juta ton.

Jika proyeksi itu benar terjadi, impor beras hingga 5 juta ton, akan menjadi yang terbesar, melewati angka 4,75 juta ton pada tahun 1999 silam.

Kita tentu berharap, akan ada surplus produksi beras nasional, sehingga impor terus berkurang. Meski begitu, masih adanya impor beras dari tahun ke tahun menggambarkan belum terwujudnya adanya ketahanan pangan nasional.

Belum lagi soal kedaulatan pangan yang menjadi salah satu poin penting dalam mewujudkan kemandirian ekonomi, selain berdaulat dalam energi, keuangan dan maritim serta sektor-sektor strategis lainnya dalam mendorong kemandirian bangsa.

Kemandirian pangan, ketahanan pangan, terlebih kedaulatan pangan saat sekarang ini mendesak untuk segera diwujudkan agar tak selamanya negara kita ketergantungan impor.

Tidak itu saja, kemandirian pangan menjadi urgen mengingat ancaman krisis pangan yang sudah menghantui dunia, termasuk negara kita.

Para pakar pangan dunia menyadari tanda-tanda krisis pangan sudah di depan mata. Ini ditandai, setidaknya empat indikator. 

Pertama, semakin sempitnya lahan pertanian akibat konversi.

Kedua, semakin sulitnya mencari lahan baru untuk tanaman pangan. 

Ketiga, semakin tidak terkendalinya pertumbuhan penduduk dan keempat, semakin berkurangnya jumlah petani.

Keempat indikator ini pun dialami negeri kita, yang berdampak kepada tidak selarasnya antara jumlah produksi tanaman pangan dengan kebutuhan pangan penduduknya yang jumlahnya terus bertambah.

Yang menjadi soal, mampukah negara kita mewujudkan kemandirian pangan, meningkatkan ketahanan pangan serta memperkuat kedaulatan pangan?

Jawabnya sangat mampu, asal terdapat kemauan politik dari penyelenggara negara yang didukung secara sungguh-sungguh oleh seluruh komponen bangsa.

Negeri kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Indonesia dikenal sebagai negeri ‘Zamrud khatulistiwa’ yang oleh Prabu Jayabaya disebut sebagai negeri yang ‘gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja’

Artinya negeri yang subur, makmur, sentosa, tenteram dan damai. Subur kang sarwa tinandur lan murah kang sarwa tinuku (Tanahnya subur dan ditanami apa saja tumbuh. Serba murah dan terbeli oleh rakyat). 

Negara kita memiliki jumlah SDM yang besar dan unggul untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam demi kemakmuran rakyat.

Kita meyakini dengan kekayaan alam kita sebagai negara agraris, akan mampu memenuhi kuota produksi pangan (utamanya beras), kebutuhan dalam negeri, tentu dengan terus menerus melakukan kebijakan yang mampu mengangkat harkat dan martabat para petani untuk regenerasi.

Memperluas lahan pertanian dengan membuka lahan tidur, melalui diversifikasi penganekaragaman tanaman pangan. Tak kalah pentingnya akses pasar, jalur distribusi dan keterjangkauan harga, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Harga yang fluktuatif tak hanya akan mengganggu pembangunan pertanian untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan, juga berdampak buruk bagi masyarakat secara keseluruhan. (Azisoko).

News Update