ADVERTISEMENT
Jumat, 30 Desember 2022 13:00 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
“Karena ketika seseorang mengalami disabilitas langsung syok. Stigmatisasi atas diri sendiri spontan muncul. Baik akibat kusta maupun bukan,” terang Maryani Rusli seperti dikutip dari dari Youtube KBR dalam program yang dipersembahkan NLR Indonesia, lembaga yang konsern pada isu kusta dan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
Dia menerangkan guncangan psikologis ini bisa dipicu akibat pengetahuan yang kurang maupun informasi yang salah. Seperti soal kusta dianggap kutukan dan tidak bisa disembuhkan. Hal ini membentuk warisan yang negatif.
Akibatnya, terjadi ejekan dan pengucilan. Sementara yang mengalami kusta takut dan malah menarik diri.
Pemahaman yang keliru ini menjadi penyebab munculnya stigma sehingga akhirnya berdampak pada kejiwaan.
Di samping itu guncangan bisa muncul akibat masalah disabilitas lain. Seperti seseorang yang mengalami stroke sehingga merasa ruang geraknyanya menjadi serba terbatas.
“Stroke membuat aku tidak bisa lagi jalan. Aku tak lagi berguna. Lalu buat apa? Nanti keluarga akan merasa repot dengan saya,” renungnya.
Maryani Rusli menuturkanberagam hal ini akan memunculkan gangguan psikis pada kelompok disabilitas, baik akibat kusta atau ragam disabilitas lainnya.
“Kadang-kadang ini bisa mengakibatkan kehilangan hak. Apalagi kalau stigmatisasi itu muncul dari masyarakat yang justru mempertebal stigma dalam diri masing-masing,” ujar dia.
Walaupun sudah mencoba kuat tetapi masyarakat, pemerintah, lembaga, kebijakan, dan peraturan justru tidak berpihak. Ini menambah kecemasan dan stres terhadap masa depan.
Mengupayakan Persiapan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT