IRAN, POSKOTA.CO.ID - Polisi moral Iran dibubarkan pasca negara tersebut dilanda gelombang unjuk rasa selama lebih dari dua bulan.
Pernyataan ini datang dari seorang pejabat Iran pada hari Minggu (4/12/2022).
Gelombang unjuk rasa tersebut dipicu kematian Mahsa Amini setelah ditangkap karena diduga melanggar aturan ketat cara berpakaian bagi perempuan.
Demonstrasi yang dipimpin oleh perempuan dan disebut pihak berwenang sebagai “kerusuhan”.
Demonstrasi melanda Iran sejak Mahsa Amini, perempuan Kurdi berusia 22 tahun, meninggal dunia pada 16 September lalu. Peristiwa itu tiga hari setelah penangkapannya oleh polisi moral di Teheran.
Para pengunjuk rasa membakar jilbab mereka dan meneriakkan slogan-slogan anti pemerintah. Selain itu semakin banyak perempuan yang tidak mengenakan hijab. Khususnya di beberapa bagian Teheran.
“Polisi moral tidak ada hubungannya dengan lembaga peradilan dan telah dibubarkan,” ucap Jaksa Agung Mohammad Jafar Montazeri.
Pernyataannya disampaikan pada sebuah konferensi keagamaan di mana dia memberikan alasan polisi moral dibubarkan.
Pembubaran tersebut menjadi aksi mengalah yang langka dilakukan selama gerakan unjuk rasa tersebut.
Pihak berwenang juga mengakui efek demoralisasi dari krisis ekonomi yang dipicu sanksi Amerika Serikat.
“Cara terbaik menghadapi kerusuhan adalah dengan memperhatikan tuntutan nyata rakyat,” kata Juru Bicara Dewan Presidium Parlemen Seyyed Nezamoldin Mousavi sambil merujuk pada mata pencaharian dan ekonomi.
Tidak ada konfirmasi pembubaran dari Kementerian Dalam Negeri Iran yang bertanggung jawab atas satuan itu. Media pemerintah Iran juga menyebut Mohammad Jafar Montazeri tidak bertanggung jawab mengawasi satuan tersebut.
Berita tersebut menuai tanggapan yang skeptis dari beberapa warga Iran di media sosial. Termasuk mereka yang mengungkapkan ketakutan bahwa peran polisi moral akan digantikan oleh satuan lainnya. Mereka juga menyebut tekanan sosial yang kuat tetap terasa di dalam negeri.
Pihak berwenang telah memantau kepatuhan masyarakat terhadap aturan berpakaian yang ketat bagi perempuan dan laki-laki sejak Revolusi Islam 1979 yang menggulingkan monarki Iran dukungan Amerika Serikat.
Polisi moral di bawah Presiden Mahmoud Ahmadinejad yang berhaluan keras, secara resmi disebut Gashte Ershal atau “Patroli Bimbingan”, dibentuk untuk menyebarluaskan budaya kesopanan dan hijab.
Kesatuan tersebut dibentuk Dewan Tertinggi Revolusi Kebudayaan Iran. Kini dipimpin Presiden Ebrahim Raisi.
Mereka mulai berpatroli pada 2006 untuk menegakkan aturan berpakaian yang juga mewajibkan perempuan untuk mengenakan pakaian anjang, melarang celana pendek dan jin robek, serta pakaian lain yang dianggap tidak sopan.
Pengumuman pembubaran polisi moral hanya berselang sehari setelah Montazeri mengatakan bahwa baik parlemen maupun lembaga peradilan sedang membahas masalah tentang apakah undang-undang yang mewajibkan perempuan untuk menutupi kepala mereka perlu diubah.
Ebrahim Raisi mengatakan di televisi pada hari Sabtu (3/12) bahwa pondasi Republik Islam Iran secara konstitusi bersifat mengakar. Tetapi ada metode penerapan konstitusi yang bisa fleksibel.
Pemakaian hijab mulai diwajibkan pada 1983. Polisi moral awalnya mengeluarkan peringatan sebelum mulai menindak tegas dan menangkapi perempuan 15 tahun lalu.
Kesatuan tersebut biasanya terdiri atas laki-laki berseragam hijau dan perempuan bercadar hitam.
Peran kesatuan tersebut berkembang. Namun selalu kontroversial.
Norma berpakaian berangsur-angsur berubah. Perempuan dengan celana jin ketat dan kerudung longgar berwarna-warni menjadi hal yang umum terutama di bawah mantan Presiden Hassan Rouhani yang moderat.
Namun pada Juli tahun ini, penggantinya, Ebrahim Raisi yang berhaluan ultra konservatif menyerukan mobilisasi semua lembaga negara untuk menegakkan hukum jilbab.
Ebrahim Raisi pada saat itu menuduh musuh Iran dan Islam telah menarget nilai-nilai budaya dan agama masyarakat dengan menyebarkan korupsi. ***
(AFP, Reuters)