Kematian Mahsa Amini yang berusia 22 tahun memicu protes keras.

Internasional

Demonstrasi Guncang Hebat Iran

Minggu 25 Sep 2022, 09:00 WIB

IRAN, POSKOTA.CO.ID - Bisnis seperti biasanya. Inilah yang terpikir polisi moral Iran ketika menangkap Mahsa Amini yang berusia 22 tahun pada 13 September.

Seruan saudara laki-lakinya bahwa mereka adalah pengunjung di tempat asing di Teheran tidak diindahkan ketika dia dipaksa pergi. Dia hanya salah satu di antara banyak yang ditangkap hari tersebut karena menunjukkan beberapa helai rambut di luar jilbabnya.

Tetapi yang terjadi selanjutnya adalah mengguncang negara teokratis sampai ke intinya.

Para pejabat melaporkan Mahsa Amini dirawat di rumah sakit tanpa tanda-tanda vital dan mati otak beberapa jam setelah penahanannya. Dia dinyatakan meninggal pada 16 September.

Warga Iran melihat foto perempuan muda di puncak momen kehidupan yang melekat pada tuba, noda darah terlihat di telinganya, dokter yang melihat gambar itu menyebutnya kemungkinan tanda dari trauma kepala berat.

Dikutip dari Time, protes segera pecah di pemakaman Mahsa Amini di kota kelahirannya Saqqez di Provinsi Kurdistan Iran. Demonstrasi menyebar begitu saja seperti api ke seluruh negeri.  

Belum pernah terjadi sebelumnya dalam ukuran dan kecepatan. Mereka ditandai keberanian para demonstran yang dipimpin perempuan di hampir setiap tempat. Mereka mengangkat tinggi-tinggi foto Mahsa Amini, melambaikan cadar mereka ke udara, membakarnya di api, dan meneriakkan “Zhin, Zhiyan, Azadi” (Perempuan, Kehidupan, Kebebasan).

 

Perempuan yang menampakkan rambutnya menjadi simbol pembangkangan di Iran.

 

Warga awam turut mengunggah pengalaman kehilangan dan penindasan di tangan Republik Islam Iran di media sosial di bawah #MahsaAmini.

“Untuk sepupu saya, yang anda penjarakan pada tahun 1958 pada usia 16 tahun, dan pada tahun 1967, anda memberi tahu ibunya tentang eksekusinya,” tulis salah satunya.

Dalam berbagai bentuk dan bahasa, tagar tersebut melampaui 80 juta mention di Twitter. Banyak yang menggunakan slogan “Mahsa kamu belum mati, namamu telah menjadi simbol.” Yang lain menyinggung permintaan saudara laki-lakinya untuk membiarkannya pergi karena mereka adalah orang asing di Teheran,“Kamu bukan lagi orang asing, seluruh negeri mengenalmu sekarang.”

Setiap hari gambar demi gambar muncul dari perempuan Iran berhadapan dengan polisi dan pasukan keamanan dengan kepala mereka bebas dari penutup apapun.

 

Perempuan melepaskan kerudung dan melambaikan-lambaikannya.

 

Sebagian besar hanya mengenal jilbab sebagai hukum negara yang lahir beberapa dekade setelah revolusi 1979 yang menjadikan teokrasi Iran menggulingkan hak-hak perempuan.

Pada hari Jumat, satu pekan setelah kematian Mahsa Amini, sebagian dari Teheran telah menjadi zona protes. Orang-orang Iran berkumpul sambil bernyanyi, "Ini adalah tahun berdarah, Ali yang dipandang akan digulingkan". Hal ini merujuk pada Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei.

Republik Islam Iran yang tidak asing dengan ketidakpuasan dan protes publik tetap terkejut dan lengah. Aparat keamanan mulai menekan segera.

Potongan film pendek yang diambil dengan ponsel mulai bermunculan di Instagram, Twitter, dan WhatsApp menunjukkan polisi dengan dukungan pasukan paramiliter Basij menyerang dan memukuli laki-laki dan perempuan saat mereka melarikan diri dari serangan gencar dengan suara tembakan yang terdengar jelas.

Ketika protes berlanjut, semakin banyak nama dan foto pria dan perempuan muda yang dinyatakan terbunuh muncul di media sosial, termasuk satu di akun Instagram aktris Iran Parasto Salehi. Penghitungan resmi naik terus. Lebih dari belasan menjadi 26 yang dinyatakan pembawa acara TV pemerintah pada satu titik pada hari Kamis menjadi 35 beberapa jam kemudian.

Banyak protes dibasmi selama lebih dari empat dekade berkuasa. Dimulai dengan protes yang dipimpin saingan yang berebut kendali atas negara itu usai pelarian Shah Iran yang didukung Amerika Serikat Mohammed Reza Pahlavi pada 1979.

Ratusan ribu orang turun ke jalan pada 2009 untuk memprotes dugaan kecurangan pemilihan umum yang kemudian dikenal sebagai “Revolusi Hijau” dibubarkan begitu saja oleh pasukan rezim dan penangkapan massal.

Kenaikan harga gas pada November 2019 mendadak meledakkan amarah warga di seluruh negeri yang dijawab pemerintah dengan tembakan langsung. Dalam delapan hari korban tewas warga sipil melewati 300, termasuk setidaknya 23 anak-anak, menurut Amnesty International.

Pemerintah mengambil langkah ekstrem lainnya, mematikan internet, guna mengaburkan tindakannya dan mencegah pengunjuk rasa berkomunikasi.

Pendekatan serupa tampaknya sedang berlangsung sekarang. Jaringan data seluler telah dimatikan dan sebagian besar media sosial difilter.

Orang Iran bertahun-tahun yang lalu belajar cara menghindari pembatasan internet, seringkali dengan menggunakan VPN, kemungkinan pemadaman total yang membayangi membuat banyak orang khawatir. Terutama setelah sejumlah aktivis, mahasiswa, dan tokoh politik ditangkap terlebih dahulu atas perintah Kepala Kehakiman Gholam Hossein Mohseni Eje'i.

Kekhawatiran itu juga dipicu oleh rekaman yang beredar di layanan pesan.

Dalam satu file audio yang tidak terverifikasi yang dibagikan di Telegram, seorang komandan senior Basij di kota utara Rasht terdengar meminta anggota divisinya untuk muncul dalam operasi anti protes. Dia berulang kali mengatakan,“Syukurlah tangan kami sekarang dibiarkan terbuka.” Bahasa tersebut secara umum dipahami berarti paramiliter sekarang dapat menggunakan peluru tajam untuk melawan para demonstran.

Dalam rekaman lain yang beredar, seorang perwira intelijen memanggil seorang pemuda demonstran di pusat kota Kerman, menuntut dia berhenti menghasut orang banyak dengan orasi di jalan atau dia akan menghadapi konsekuensi. Jawabannya jelas mengejutkan petugas, demonstran tersebut memberi tahu,"Lakukanlah yang terburuk."

Protes terus berlanjut meskipun ada risiko. Klip dan gambar yang beredar daring menunjukkan polisi anti huru hara dan agen berpakaian preman dikejar dan dalam beberapa kasus ditangkap dan dipukuli demonstran. Dengan sedikitnya 80 kota dilaporkan secara aktif melakukan protes dan jumlahnya terus bertambah setiap hari. Pasukan keamanan tampak sangat tipis dan laporan ketidaksepakatan di antara mereka mulai beredar.

Semakin banyak selebrits, aktor, dan atlet Iran pada saat yang sama secara terbuka mendukung para demonstran. Mereka menuntut negara mundur dan mendengarkan. Mulai dari mantan pemain sepak bola Ali Karimi, yang di Twitter dan Instagram mengecam aksi pihak berwenang dan menuntut penghentian kebrutalan, hingga aktris seperti Katayoun Riahi, yang secara terbuka membuka cadarnya dalam solidaritas dengan wanita Iran.  

Bahkan selebritas yang dianggap setia dan dekat dengan kemapanan seperti Shahab Hosseini telah bergabung dengan barisan mereka yang menuntut diakhirinya tindakan kekerasan.

Diplomasi internasional mungkin telah bertindak sebagai pengekangan terhadap pasukan keamanan selama pekan pertama demonstrasi.

Presiden Ebrahim Raisi telah melakukan perjalanan ke Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York sebagian untuk pembicaraan untuk memulai kembali kesepakatan nuklir Iran 2015. Tetapi kembalinya Ebrahim Raisi sekarang dan tidak ada kesepakatan maka para aktivis memperingatkan bahwa pengulangan November 2019 mungkin tidak terhindarkan.

Direktur Pelaksana Keyhan, surat kabar yang terkait erat dengan Pemimpin Tertinggi Iran, memperingatkan awal pekan ini bahwa pasukan keamanan akan segera merebut kembali jalan-jalan.

Korps Pengawal Revolusi mengeluarkan pernyataan pada Kamis yang menjanjikan kekalahan konspirasi musuh.

Pekan ini keluar laporan tentang meningkatnya kekerasan dan penggunaan peralatan yang lebih mematikan oleh pasukan keamanan dan meningkatnya korban jiwa. Terutama di wilayah Kurdistan barat tempat Mahsa Amini berasal.

Sudah ada tanda-tanda bahwa pasukan keamanan berkumpul di Teheran. Sekolah, universitas, bioskop, teater, dan bahkan beberapa kantor pemerintah semuanya ditutup dalam beberapa hari mendatang dalam upaya penghabisan untuk membasmi demonstrasi di ibukota. Kontra demonstran yang diorganisir pemerintah menyerukan agar para pengunjuk rasa dieksekusi.

Kedua belah pihak memahami masalah ini melampaui jilbab.

“Kematian Mahsa Amini adalah percikan ketidakpuasan yang hampir universal di antara orang Iran,” kata seorang analis politik di Teheran yang tidak ingin disebutkan namanya karena masalah keamanan.

“Apakah itu kebebasan politik dan pribadi, kesulitan ekonomi, atau keterbatasan sosial, banyak orang Iran tidak lagi memiliki harapan untuk masa depan di Republik Islam,” tambah analis tersebut.

“Protes akhir-akhir ini atas nama kemanusiaan, berlawanan dengan revolusi 1979 yang mengatasnamakan Tuhan,” cuit Profesor Sosiologi Universitas Teheran Mohammadreza Javadi Yeganeh.

Demonstrasi 2022 adalah “revolusi sosial,” tambah Mohammadreza Javadi Yeganeh. “Para demonstran, terutama perempuan ingin hidup berdasarkan pemahaman mereka, tidak terpikat apa yang dikatakan agama.” ***

Tags:
iranKurdistanPolisi MoralJilbabperempuanKurdiMahsa AminiHak Perempuanmedia sosialsosial-mediainternetTeokrasiShah IranRevolusi HijauPembangkangan Sipil

Reporter

Administrator

Editor