ADVERTISEMENT

Kopi Pagi Harmoko: Melanggengkan Kekuasaan

Kamis, 11 Agustus 2022 07:00 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

“Pejabatwajibmerakyat.Janganlahmengejarjabatan,jikasebatasmelebarkankekuasaan,tanpaberupayamaksimalmemajukandaerahdanmensejahterakanmasyarakatnya,”-Harmoko -

JIKA ditanyakan apakah salah berupaya meraih jabatan dan kedudukan? Jawabnya tidaklah salah, yang salah kalau meraih jabatan dan kedudukan itu menjadi tujuan utama hidupnya.  Berharap jabatan tertinggi adalah manusiawi, menjadi tidak manusiawi, jika untuk meraihnya menghalalkan segala cara. Menutup, menjegal dan menyingkirkan hak orang lain dengan kekuasaannya dan kebijakan politiknya.

Sikap seperti ini jelas bertentangan dengan “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mengembangkan persaudaraan berdasarkan nilai – nilai keadilan dan keadaban serta kesederajatan.

Lebih ironi, peraturan pun diterobosnya dengan melegalitas peraturan baru yang digulirkannya guna melanggengkan kekuasaan dirinya, keluarganya ataupun kerabat dekatnya. Sulit dipungkiri, kesalahan terletak kepada cara-cara mendapatkannya, itulah sebabnya dalam sistem demokrasi yang kita anut, terdapat pembatasan jabatan (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota), hingga dua periode berturut – turut.

Maknanya dalam sistem demokrasi pergantian kekuasaan adalah keniscayaan. Kesadaran ini yang menyelipkan harapan baru adanya “kelanggengan kekuasaan” setelah dua periode menjabat dengan maksud mengamankan kebijakan lewat anggota keluarga atau kerabatnya yang kelak menjadi penggantinya.

Setelah dua periode kekuasaan, biasanya mereka mencalonkan istri, suami, anak, menantu, ponakan sebagai penerusnya agar jabatan tak lepas. Dengan modal sosial yang sudah dimiliki sehingga melanggengkan jabatan merupakan salah satu jalan terbaik untuk menjadi pemenang. Inilah dinamika politik saat ini.

Alasannya, boleh jadi cukup klasik, meneruskan program yang sudah dirancang dengan baik. Program tersebut belum terlaksana sesuai target karena tidak cukup waktu menuntaskannya. Padahal, waktu tidak akan selalu cukup.

Di sisi lain, berburuk sangka bahwa pejabat berikutnya tidak akan mampu melanjutkannya, kecuali koleganya yang sudah paham seluk beluknya, adalah pandangan naif, jika tidak disebut mencari – cari alasan.

Tetapi pada akhirnya upaya melanggengkan kekuasaan ada di tangan rakyat. Menyadari “Kedaulatan berada di tangan rakyat” sebagai salah satu adagium demokrasi, yang penyalurannya lewat pemilu, maka upaya pun diarahkan ke sana, tak acap dengan merekayasa mandat rakyat. Mengarahkan dukungan kepada calon yang dikehendaki, tidak menutup kemungkinan bermain curang, demi kelanggengan kekuasaan.

Masalah muncul setelah kekuasaan berpindah tangan sepenuhnya kepada eksekutif dan legislatif sebagai penerima mandat, kemudian disalahgunakan. Yang ada, rakyat tersentak hanya bisa menatap, tak bisa berbuat banyak, apalagi mencabut mandat. Itulah nasib rakyat, dibutuhkan untuk menggelembungkan dukungan, mendongkrak keterpilihan. Ditinggalkan setelah menduduki kursi jabatan.

Sepertinya jargon demi rakyat, perjuangan untuk rakyat, pembangunan untuk rakyat, kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk rakyat, yang baik- baik semuanya untuk rakyat, hanya sarat dengan pernyataan, tetapi jauh dari harapan. Lain yang dikata, lain yang nyata.

Ini salah satu indikasi pemimpin yang tidak merakyat seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. Mereka mengejar jabatan untuk melebarkan kekuasaan, bukan memajukan daerahnya, menyejahterakan rakyatnya,  negaranya dan bangsanya.

Inilah perlunya kesadaran diri menjadi pemimpin yang dicintai, bukan dimurkai. Pemimpin yang mengayomi, bukan minta “dipayungi” dan “dilayani”. Yang mampu menyelesaikan masalah, bukan terus menerus membuat masalah. Ingat pejabat adalah panutan. Pepatah mengatakan “ Obah ngarep, kobet mburi” – segala tindakan para pemimpin (pejabat, penguasa) akan selalu menjadi cermin anak buahnya.

Jangan memaksakan diri memiliki kekuasaan, jika tanpa kemampuan, meski mendapat fasilitas dan dukungan. Apalagi dilakukannya secara curang, pada akhirnya akan terjengkang. Lebih – lebih jika menebar kebohongan.

Kita berharap hal seperti ini tidak terjadi, meski tidak bisa dipungkiri pelanggengan kekuasaan, lazimnya terjadi karena mendapat dukungan tiga elemen elite, yakni dukungan elite politik dan keamanan, elite keagamaan dan elite bisnis (oligarki dan orang-orang kaya).

Sentuhan nurani selayaknya dialamatkan kepada para elite bagaimana meraih kekuasaan secara sehat dan bertanggung jawab. Janganlah karena terobsesi kekuasaan “ketungkul marang kalungguhan “, lantas berbuat semena – mena.

Pitutur luhur mengajarkan “ Ojo kuminter mundak keblinger, ojo cidra mundak cilaka” – Jangan merasa dirinya paling pandai, hebat  agar tidak salah arah. Jangan suka berbuat curang agar tidak mendapat celaka. (Azisoko)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT