"Jangan harap perubahan menuju kemajuan bakal terlaksana, jika para elite, pemimpin dan calon pemimpin bangsa tidak mampu mengubah dirinya sendiri menuju lebih baik lagi..."
-Harmoko-
ISU – isu perubahan sepertinya akan menjadi “jualan“ menarik bagi para elite menyongsong perhelatan akbar pemilu serentak tahun 2024. Sejumlah parpol, utamanya yang berada di luar koalisi, sudah bersiap mengangkat isu perubahan menuju perbaikan.
Diyakini perubahan menjadi daya pikat tinggi meraih simpati publik, di tengah situasi ketidakpastian, kondisi yang stagnan, jika tidak disebut “kegagalan”.
Sejarah perjalanan politik negeri ini pun telah membuktikan, isu perubahan yang diusung paslon presiden – cawapres mampu memenangkan pertarungan sejak pemilu pasca reformasi digelar. Begitu pun dalam pilkada, di antaranya DKI Jakarta.
Tentu, perubahan ini harus didukung dengan program yang ditawarkan, juga sosok pemimpin yang diajukan wajib mencerminkan karakter perubahan seperti diharapkan. Ini makin diperkuat mengingat pada pilpres 14 Februari 2024, tak ada lagi capres petahana.
Memperjuangkan perubahan dan perbaikan nasib rakyat akan menjadi kemasan yang dikedepankan parpol guna meningkatkan elektoral dengan menawarkan kebijakan yang lebih memihak kepada rakyat. Bukan kebijakan yang hanya menguntungkan beberapa pihak, mendukung penguatan oligarki.
Bukan pula kebijakan yang berubah – ubah dan membingungkan rakyat. Komoditas pangan seperti harga sembako yang terjangkau, harga.stabil, dan stok lebih dari tercukupi agar tidak terjadi antrean dan pembatasan – pembatasan, menarik akan disajikan. Juga perbaikan nasib pekerja, penyediaan lapangan pekerjaan, dan upaya – upaya lain mengentaskan kemiskinan yang saat ini angkanya masih di atas 26 juta orang.
Angka pengangguran terbuka yang masih 9,1 juta orang. Belum lagi yang setengah terbuka, atau sedikit terbuka akibat belum pulihnya perekonomian menyusul terdampak pandemi dan ketidakpastian situasi global.
Ditambah lagi peningkatan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang sangat signifikan secara alami, sering disebut “bonus demografi” yang menuntut tersedianya lapangan yang lebih besar, luas dan beragam.
Isu semacam ini tetap menarik, tetapi menggelitik. Menarik perhatian publik karena mereka merasakannya, menggelitik karena akan sulit merealisasikannya. Maka, yang terjadi kemudian, bermain di tataran retorika, kurang aksi nyata.
Sementara kita tahu, perubahan adalah menuju kemajuan, bukan kemunduran. Terdapat kebaikan, bukan keburukan. Rakyat makin sejahtera, bukan malah sengsara. Di sinilah perlunya kesadaran diri dari para elite politik, pemimpin bangsa dan calon pemimpin bangsa ke depan untuk mengubah dirinya sendirinya sebelum mengubah orang lain.
Sebelum mengubah lingkungan masyarakat, lebih luas lagi mengubah bangsa dan negara mewujudkan cita – citanya, kemakmuran, keadilan sosial, aman dan damai. Ini dimulai dari hal kecil, dari mulai ucapan,