JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Seorang mantan narapidana (Napi) kasus narkoba penghuni Blok C Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Tangerang, Banten, berinisial J (40), membongkar seluk-beluk blok yang pernah dihuninya tersebut, yang terbakar pada Rabu (8/9/2021) dini hari dan menewaskan 44 orang napi.
J mengatakan, Blok C Lapas Kelas 1 Tangerang, Banten, biasa dihuni oleh sejumlah bandar atau gembong narkoba.
Di blok tersebut ada apotek besar (istilah penjual narkoba berskala besar) disebut juga ada pentolannya. Sehingga, menurutnya, tak heran jika terjadi gesekan antarpentolan narkotika.
“Blok yang terbakar itu adalah blok yang dihuni para pentolan. Sedang pengedar tersebar di blok lain,” ujar J kepada Poskota.co.id yang mewawancarai secara eksklusif, Kamis (9/9/2021).
Modus peredaran barang, lanjut J, bekerja sama dengan sipir penjara seperti kesatuan pengamanan lembaga pemasyarakatan (KPLP), petugas keliling (Gasling), penjaga pintu utama (P2U), portir dan regu.
“Yang dominan untuk nyelemin (menyelundupkan) barang tersebut dilakukan petugas yang sering jaga malam atau Gasling,” ungkapnya.
Jumlah barang haram yang dapat diselundupkan oleh petugas terbilang fantastis. “Banyak bisa sampai 1 ons (100 gram). Imbalan untuk petugas bisa sampai jutaan rupiah (biaya penyelundupan),” ujarnya.
Dari pengalamannya selama berada di sel, J mengatakan, bahwa di blok tempat terjadinya kebakaran terdapat beberapa apotek atau penjual narkoba. Peredaran
tersebut menurut J diketahui oleh KPLP di Lapas tersebut.
Berusaha Bertahan Hidup
Menurut J, menjadi seorang Napi atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) tidaklah mudah. Apalagi, harus berusaha supaya bisa bertahan hidup di tengah banyaknya orang yang terjerat berbagai macam kasus.
Kehidupan seorang WBP ditentukan dengan bagaimana dia berinteraksi, cara dia bergaul dan cara dia bertahan. Untuk dapat bertahan dalam menjalani sisa hukuman seorang WBP harus piawai mencari uang.
Yang paling gampang, ujar J, bukan bekerja sebagai ahli bengkel ataupun berniaga. Kebanyakan dari WBP menjadi pengendali narkotika agar dapat menjalani kehidupan di dalam dinginnya jeruji besi.
“Saya lima tahun di TB (Lapas Kelas 1),” kata J.
J yang juga sempat berinteraksi dengan Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pernah menghuni Lapas itu, mengatakan bahwa kerasnya hidup menjadi seorang Napi dia rasakan selama bertahun-tahun.
Untuk menjadi seorang Napi di Lapas Kelas 1 ini J mengaku harus memiliki modal utama.
“Begitu masuk pun dia harus merogoh Rp500 ribu agar tidak dibambu (digebukin) dan tidak menempati menara,” urai dia.
Menurut dia, menara merupakan ikon yang ada di Lapas Kelas 1 Tangerang. Biasanya tempat ini dijadikan tempat isolasi bagi para napi bermasalah.
Lantaran dia tidak dapat memberikan uang atau istilah dia 86, J pun digiring ke menara untuk bisa beradaptasi.
“Saya sempat digulung terus dibotakin. Habis dibotakin, ditaikin ke menara. Di menara itu berbulan-bulan. Susah air,” jelas dia.
Namun rupanya tempat tinggi yang cukup membuat hati para Napi was-was ini justru tidak steril dari peredaran barang haram yang dianggap menjadi musuh negara.
Bisnis Haram
Bahkan sebaliknya menara menjadi awal mula seorang Napi dapat memulai bisnis haramnya.
“Di menara inilah banyak WBP yang mengendalikan narkoba ke luar. Jadi bukan hanya di blok-blok, di menara pun bisnis narkoba sudah ramai,” jelas dia.
Saat di menara itulah dia mengenal bisnis barang haram. Dimulai dari tawaran seorang bos yang memberikan handphone untuk komunikasi jual-beli narkoba.
"Dengan bekal HP dia kerja sama dengan petugas atau P2U (sipir). Kepada taksi (istilah sipir) dia meminta agar mengambilin barang di depan gerbang,” ujarnya.
Selanjutnya, sang taksi akan menjemput barang selundupan. Selain itu menurut J, seorang Napi bisa dengan mudah mendapatkan HP di dalam Lapas.
“90 persen semua barang yang dilarang sama Lapas bisa masuk itu berkat adanya taksi (sipir),” terangnya.
“Nah sepanjang di dalam ane punya bos orang Taiwan berdomisili di Mangga Besar. Dialah yang memasok,” jelasnya.
Jumlah barang nggak tanggung-tanggung bisa 1 ons atau 100 gram dengan nilai puluhan juta rupiah.
Untuk penjualan narkoba jenis sabu, lanjut J, biasanya Napi bisa mendapatkan keuntungan cukup relevan. “Ada inex dan ganja juga dia kasih harga memang relatif lumayan murah. Pokoknya 5 biji Rp5 juta. Ane melepas keluar ke kuda ane harga Rp1,2 per gram dapat sejuta per 5 gram,” jelas dia.
Blok Religius
J mengaku untuk peredaran narkotika di dalam Lapas sendiri terbilang cukup deras. Terakhir J menjelaskan bahwa terdapat beberapa blok di Lapas Kelas 1 Tangerang. “Blok G, A1, A2, A3. B1, B2, B3, dan masing-masing blok ada 3 blok. C1, C2, C3. Kalau blok G itu mapenaling sebelum warga binaan turun ke blok,” jelas dia.
Video Anaknya jadi Korban Kebakaran Lapas, Nyoman: Pemerintah Tanggung Jawab Atas Pemakaman Kremasi Ngaben. (youtube/poskotatv)
Namun untuk lokasi Blok C yang hangus dilalap si jago merah, menurut J blok tersebut merupakan blok untuk para Napi religius.
“Itu blok tempat religius atau santri. Tapi ya ada pengedar narkobanya. Kalau apoteknya enggak ada tapi untuk pengendalian doang,” jelasnya.
“Apotek di blok G. Pokoknya dari sekian blok itu hanya blok C doang yang menurut saya ada yang buka apotek. Cuma pengendalian lebih dominan di C itu pengendalian ke luar,” ujarnya. (tim poskota)