Obrolan Minggu Profesor Amir Santoso: Ulama

Minggu 13 Des 2020, 06:00 WIB
Prof Dr Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya,

Prof Dr Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya,

ULAMA adalah sekumpulan orang yang dianggap memiliki banyak ilmu pengetahuan mengenai agama Islam. Di kalangan Muslim, ulama menduduki posisi sosial yang sangat terhormat. Ada yang menyebut mereka Kiyai, Ustad, Abah, Tuan Guru dll.

Namun rupanya di beberapa negara, ada yang menganggap sebagian ulama sekarang ini telah menjadi orator yang membangkitkan emosi massa, khususnya Muslim, untuk menjadi oposisi terhadap pemerintah.

Apakah itu salah? Dari sudut demokrasi, hal itu tidak salah samasekali. Sebab oposisi itu wajib adanya dan boleh dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Jadi jika tidak ada UU yang melarang ulama menjadi oposisi maka berarti mereka boleh menjadi oposisi.

Kita semua juga boleh menjadi oposisi karena justru teori-teori demokrasi menganjurkan perlunya oposisi. Menurut teori tersebut oposisi dibutuhkan karena pemerintah harus ada yang mengawasi agar kinerjanya tetap efektif, efisien dan sesuai dengan aspirasi rakyatnya.

Namun teori memang sering tidak terwujud dalam praktek. Di beberapa negara, pemerintahnya mengklaim sebagai pemerintahan yang demokratis tetapi tindakan-tindakannya sering berlawanan dengan teori demokrasi.

Baca juga: Obrolan Minggu Profesor Amir Santoso: Berdialoglah

Beberapa issue penting dalam demokrasi misalnya adalah adanya jaminan terhadap kebebasan berpikir dan berpendapat; kedudukan yang setara di depan hukum; pemilu yang bebas dll. 

Issues seperti di atas perlu diperhatikan dan dilaksanakan karena pemerintah dan rakyat merupakan dua entitas yang berbeda. Selain itu, yang disebut sebagai rakyat pada masa modern ini terdiri dari berbagai golongan, kelompok dan bermacam kepentingan termasuk ulama.

Karena itu dibutuhkan kemampuan pemerintah untuk memberikan dan menjamin keadilan bagi semua kelompok tersebut.

Namun issues di atas tampaknya sukar diwujudkan apalagi di negara-negara yang rakyatnya tidak memiliki budaya dan tradisi demokrasi. 

Bahkan di negara yang disebut sebagai mbahnya demokrasipun masih terjadi diskriminasi dan pengekangan kebebasan. Di AS misalnya, belakangan ini muncul lagi masalah rasialisme sehingga orang hitam di sana melakukan demo memprotes perlakuan pemerintah terhadap mereka.

Baca juga: Buku

Apa yang disebut sebagai ulama itupun merupakan salah satu kelompok di dalam masyarakat. Karena itu mereka juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kelompok yang lain. 

Mereka punya hak, misalnya untuk mengemukakan pendapatnya meskipun pendapatnya itu berbeda dengan pemerintah maupun dengan kelompok lain. Perlakuan terhadap mereka pun mestinya harus sama dengan perlakuan terhadap kelompok lain.

Memang di beberapa negara seperti di Iran (dimasa Sah Iran) dan Mesir, ulama ditakuti oleh pemerintah. Ini karena, ulama sering mengemukakan pendapat yang dianggap berbeda dan menentang kebijakan pemerintah. 

Tapi biasanya dan umumnya, yang ditentang oleh ulama adalah kebijakan pemerintah yang dianggap membiarkan dan menyuburkan kemungkaran dan ketidakadilan, misalnya membiarkan judi, miras, pelacuran, korupsi, ketidakadilan dll. Memang tugas dan kewajiban ulama adalah menjaga nilai moral agar sesuai dengan ajaran agama.

Sebenarnya yang ditakuti bukan ulamanya melainkan karena mereka memiliki banyak pengikut dan pendukung. Karena itu beberapa pemerintahan menganggap ulama sebagai oposisi yang membahayakan kekuasaan mereka lalu memerintahkan untuk melawannya.

Baca juga: Rakyat dan Pemerintah

Maka tak heran ketika ada ulama menjadi oposisi, muncul imbauan agar ulama menjadi penyejuk bagi emosi bangsa. Namun menjadi penyejuk itu bukan berarti menjadi pak turut.

Ulama justru harus selalu menjadi panutan masyarakat sebagai penyuluh untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Ulama tidak boleh membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar hanya untuk menyenangkan penguasa. 

Tapi yang kemudian menjadi dan dijadikan masalah adalah cara mendirikan amar makruf nahi mungkar tersebut. Beberapa pemerintahan menentang cara ulama dan pendukungnya menggunakan kekerasan dalam memberantas judi, miras, pelacuran dll. Sebab hal itu dianggap sebagai wewenang aparat pemerintah. 

Mestinya perbedaan cara penanganan itu bisa dikomunikasikan oleh pemerintah kepada ulama agar timbul saling pemahaman agar tidak terjadi bentrokan.

Karena itu jika di suatu negara ada ulama yang menjadi oposisi maka pemerintah harus menghadapinya dengan cara mengajaknya berdialog lalu mengambil alih perlawanan terhadap tindakan kemungkaran tsb. 

Jika sebelumnya upaya memberantas judi, maksiat, korupsi dll dilakukan oleh para ulama dan pengikutnya maka upaya tersebut untuk selanjutnya harus dilakukan oleh pemerintah. Jika hal semacam itu dilakukan, insyaAllah oposisi dari ulama bahkan dari kelompok lainnya juga akan berkurang. ***

(Profesor DR Amir Santoso, Guru Besar FISIP UI dan Rektor Universitas Jayabaya)

Berita Terkait
News Update