Pengamat politik Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti .(dok)

Nasional

Ray Rangkuti: Pencegahan Terorisme Itu Kerja Sipil, Bukan TNI!

Kamis 19 Nov 2020, 08:34 WIB

JAKARTA – Pengamat politik Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai kewenangan TNI pada Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, terlalu luas. 

Salah satunya adalah, seperti dilibatkannya TNI dalam pencegahan aksi terorisme. 

"Di TNI banyak sekali organ-organnya. Yang mau dipakai satuan yang mana? Apalagi sampai di (Rancangan) Perpres ini kewenangannya terlalu luas sampai dengan pencegahan," ujar Ray dalam webinar 'TNI dan Terorisme: Menguji Perpres Pelibatan TNI Dalam Penanganan Terorisme', yang digelar Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina, Rabu (18/11/2020).

Menurut Ray, tak tepat jika TNI diikutsertakan dalam pencegahan tindak terorisme, sebab bukan merupakan keahliannya. 

Baca juga: TNI Mau Dilibatkan Atasi Terorisme, YLBHI: Berpotensi Langgar HAM!

"Kalau pencegahan itu jelas kerja sipil  bukan TNI, kalau TNI ya lumpuhkan. Sementara khas sipil ya dialog dan persuasif," tuturnya. 

Ray memandang, pelibatan TNI dalam menangani terorisme merupakan upaya sipilisasi militer oleh pemerintah, yang  berpotensi menimbulkan tumpang-tindih tugas dan kewenangan antara TNI-Polri. 

Di kesempatan sama, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme, kecuali dalam rangka penindakan. Penindakan yang disarankan pun memiliki batasan-batasan. 

"Komnas HAM menolak pelibatan TNI dalam tangani terorisme kecuali dalam hal penindakan saja. Komnas HAM hanya menyetujui pelibatan TNI dalam penindakan dengan skala tertentu," kata Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam. 

Baca juga: DPR Bahas Draft Perpres Keterlibatan TNI Tanggulangi Terorisme

Komnas HAM tak ingin kehadiran TNI melalui draf regulasi tersebut, justru kontra produktif. 

"Kami menolak pelibatan TNI dalam penangkapan, biar tidak mengganggu program yang telah dan sudah berjalan dengan baik. Menurut kami, kewenangan TNI buat pemulihan, kalau itu korban pemulihan fisik biarlah BNPT yang menanganinya dengan programnya," jelas Choirul. 

Chorul menjelaskan, pendekatan hukum dalam penanganan masalah terorisme di Indonesia, ialah bukan lagi menggunakan war model atau konsep atau hukum perang, tapi criminal justice system atau sistem peradilan pidana. 

Karena menggunakan sistem peradilan pidana, ikut serta TNI dalam mengatasi teroris menurut Choirul harus bersifat sementara atau ad hoc. Bukan permanen seperti yang tertuang pada Rancangan Perpres. 

Baca juga: Pelibatan TNI Atasi Terorisme Dinilai Ancam HAM dan Demokrasi

Sebab, jika permanen, berpotensi memunculkan pelanggaran HAM, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru (Orba). 

Sementara, pengamat politik Arya Wishnuardi menilai doktrin atau karakter yang melekat pada militer, tak cocok apabila dihadapkan dengan persoalan hukum masyarakat sipil seperti kejahatan terorisme.

"Doktrin militer sendiri sering kesulitan jika harus mengambil peranan hukum sipil, karena yang dipakai doktrin perang," ujar Arya. 

Jika akhirnya harus dilibatkan pun, kata Arya harus di momen tertentu dalam penanganan terorisme. Terutama pada fase penindakan pelaku teror, dengan waktu yang sesingkat-singkatnya. 

Baca juga: DPR Apresiasi Kinerja Polri Tangani Kasus Terorisme

"Keterlibatan militer dalam memberantas terorisme antara penegakan hukum pidana atau pendekatan militer atau kombinasinya, TNI tidak bisa terlibat terlalu lama dalam penindakan," tuturnya. 

Wakil Koordinator I Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Feri Kusuma, mengakui TNI memiliki kemampuan penangkalan, penindakan dan pemulihan, yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang (UU) TNI. Meski begitu, kemampuan tersebut tak bisa seluruhnya digunakan dalam menghadapi terorisme. (tri)

Tags:
ray rangkutiPencegahan Terorisme ItuKerja Sipil, Bukan TNI!Ray Rangkuti: Pencegahan Terorisme Itu Kerja Sipil, Bukan TNI!TerorismeTNI

Reporter

Administrator

Editor