“Menjunjung tinggi tenggang rasa atau “tepo seliro” bukan saja menjadi hal penting di dalam mewujudkan harmoni kehidupan, namun juga akan menjadikan setiap diri mencapai martabat yang baik..”
-Harmoko-
KITA sering mendengar istilah tepo seliro, tenggang rasa atau di era kini lebih populer dengan sebutan toleransi.Tepo seliro yang berarti menenggang perasaan orang lain, sebuah sikap penting yang tidak saja perlu diinternalisasikan pada pergaulan di lingkungan masyarakat, lebih luas lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Makna yang hendak disampaikan, menenggang rasa itu perlu diteladani oleh para tokoh bangsa, elite politik negeri ini di era transisi menyongsong pemerintahan baru mendatang.
Para sesepuh Jawa menasehatkan agar senantiasa menjunjung tinggi tepo seliro sebagai laku hidup yang penting sebagai salah satu modal dasar dalam berhubungan dengan orang lain, bersosialisasi.
Tentu, bukan spesifik orang Jawa, sebab semua etnis bangsa kita mengajarkan dalam berbagai bentuk dan petunjuk agar senantiasa mengembangkan sikap saling tenggang rasa tepo seliro sebagaimana nilai- nilai luhur falsafah bangsa kita.
Mengembangkan sikap tenggang rasa tidak semena-mena terhadap orang lain, bagian tak terpisahkan dari pengamalan sila kedua Pancasila, yakni Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Karenanya sering dikatakan tepo seliro merupakan bentuk kearifan lokal, Berasal dari hati yang lembut untuk memandu kita berpikir sebelum berkata agar apa yang disampaikan memiliki efek positif. Konsekuensi selanjutnya melalui tindakan nyata yang tertata.
Ini yang wajib diaplikasikan dalam kehidupan sehari – hari dengan tidak memandang sebanyak apa pun titel yang disandang.Tidak melihat tingginya pangkat dan jabatan seseorang, sehebat apa pun kekuasaan yang dipegang serta sebesar apa pun melimpahnya harta benda yang dimiliki.
Penting dari masing-masing untuk senantiasa menjaga perasaan orang lain, tidak menyinggung dan melukai hati orang lain baik dalam ucapan, gerak tubuh (body language), maupun perilaku yang ditunjukkan di depan umum.
Dengan menenggang rasa, hadirlah suasana rukun dan damai, bersahabat, harmonis dan serasi dalam hubungan antar- sesama manusia, termasuk dalam harmoni politik.
Menenggang atas sebuah kekalahan maupun kemenangan dalam kontestasi, termasuk pilpres 2024. Sering dikatakan, yang menang, jangan umuk, yang kalah tidak boleh ngamuk.
Hasil pilpres sudah diputuskan, ditetapkan dan dilegalkan oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu, menyusul putusan final Mahkamah Konstitusi ( MK) yang menyidangkan sengketa hasil pilpres.
Menenggang rasa bukan soal menghargai hasil pilpres, tetapi lebih kepada keteladanan perilaku para elite dalam melakukan atraksi politik setelah penetapan hasil pilpres. Utamanya bagaimana sama-sama berupaya memajukan bangsa dan negara, membangun masa depan yang lebih baik lagi dengan saling menenggang sikap politik masing-masing parpol, baik yang sehaluan maupun yang berseberangan.
Menenggang di sini, diartikan mengindahkan kepentingan orang lain atau mempertimbangkan perasaan orang lain. Yang memenangkan kontestasi menenggang sikap dan atraksi politik yang dilakukan oleh dari pihak yang kalah. Sebaliknya, yang kalah pun menenggang atraksi dari pihak yang menang untuk mempersiapkan pemerintahan baru mendatang. Artinya, bukan saling menyalahkan, bukan pula mencibir dan mencaci-maki atas sikap dan atraksi politik yang berbeda, lantas dikait- kaitkan dengan soal kalah dan menang.
Pilpres memang telah berakhir dengan hasil yang sudah sama – sama kita ketahui, tetapi proses politik akan terus berjalan mengawal pemerintahan mendatang.
Semangat saling menenggang dalam melakukan atraksi politik inilah yang perlu ditumbuhkembangkan di kalangan para elite,di masa transisi seperti sekarang ini. Mengingat, masa transisi memerlukan harmoni, keselarasan untuk menggerakkan potensi nasional, termasuk kearifan lokal dalam membangun bangsa menuju Indonesia Emas.
Dengan saling menenggang membuat kita tidak mudah marah, tidak memaksakan pendapat atau pun menolak pendapat pihak lain yang berbeda.
Dengan saling menenggang akan membangun kerukunan masyarakat, memunculkan nasionalisme dan memperkokoh kesatuan Indonesia di atas keberagaman.
Menjunjung tinggi tenggang rasa atau “tepo seliro” bukan saja menjadi hal penting di dalam mewujudkan harmoni kehidupan, namun juga akan menjadikan setiap diri mencapai martabat yang baik di hadapan manusia dan Tuhannya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Sebagaimana pepatah Jawa lain mengajarkan ; “ajining diri dumunung soko lathi”--tingginya martabat seseorang tergantung (berasal) dari tingkah laku kesehariannya sendiri. (Azisoko).