“Keteladanan para elite dan pejabat di semua tingkatan sangat dibutuhkan untuk mengaktualisasikan budaya beretika dalam segala sektor kehidupan masyarakat.."
-Harmoko-
Budaya beretika perlu dibangkitkan melalui aksi nyata oleh semua elemen bangsa, tak terkecuali keteladanan para elite politik negeri ini. Menyongsong peringatan Hari Kebangkitan Nasional, melalui kolom ini, kami sajikan artikel Budaya Beretika dalam dua seri. (Azisoko)
Memperingati Hari Kebangkitan Nasional, tentu tak sebatas melalui upacara bendera dan beragam acara yang digelar, yang lebih bermakna adalah implementasinya dalam kehidupan nyata.
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke -116 tahun ini, hendaknya menjadi momen penting semakin menyadarkan kita semua untuk bergerak cepat (garcep), dalam bahasa sekarang sat set mengatasi segala problema yang ada. Etika berpolitik dan berdemokrasi menjadi catatan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pasca digelarnya pileg dan pilpres pada 14 Februari 2024 lalu.
Ini sejalan dengan tujuan peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 20 Mei itu sendiri, di antaranya menegakkan nilai nilai demokrasi berlandaskan moral dan etika berbangsa dan bernegara. Selain, menguatkan jiwa nasionalisme kebangsaan sebagai landasan dasar dalam persatuan dan pembangunan.
Hasil kajian sejumlah kalangan yang menyebutkan masih rendahnya etika berdemokrasi berkontestasi dalam pilpres hendaknya kita respons bukan dengan beradu argumentasi.Tetapi kita jawab dengan mereaktualisasi kembali makna demokrasi yang kita anut dengan merujuk kepada nilai nilai luhur budaya bangsa.
Demokrasi yang menghargai perbedaan, bukan mempertentangkan perbedaan. Demokrasi yang menyatukan, bukan memberantakkan.Demokrasi yang mencerahkan, bukan menyesatkan. Demokrasi cerdas, berkualitas dan berintegritas, bukan demokrasi jalan pintas.
Di sinilah perlunya etika dalam berpolitik guna menyelaraskan perbedaan yang ada. Perbedaan, termasuk beda sikap politik, dukungan dan pilihan caleg, capres pada pemilu lalu adalah keniscayaan.
Begitu juga beda pilihan pada pilkada 27 November mendatang adalah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Pilihan adalah hak pemegang suara menentukan sikap politiknya.
Yang hendak disampaikan, apa pun atraksi politik yang digulirkan, manuver politik yang dilancarkan oleh para elite, hendaknya tetap mengedepankan etika sebagaimana adab budaya bangsa yang telah dicontohkan para leluhur kita, para pendiri negeri.
Politik etis sering juga disebut politik santun, sifat yang sejak dulu telah menjadi jati diri bangsa kita, seperti halnya ramah. Sayangnya, menurut sementara kalangan, etika kesantunan, kesopanan dan keramahtamahan seolah sudah tercerabut dari akar budaya bangsa.
Etika tersebut seolah telah tergantikan perilaku saling mencerca, menghujat, dan menghakimi yang bersifat pribadi acap dipertontonkan di ruang publik belakangan ini. Yang mencuat kekerasan verbal di media sosial, dengan beragam bentuknya.
Tak hanya di dunia maya, di alam nyata pun cukup banyak terlihat perilaku tidak beretika seperti anarkis yang kian kentara, cepat marah, emosi meluap luap dan maunya menang sendiri yang tak jarang berujung pada tindak kekerasan hingga merenggut nyawa.