“Kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kekuasaan, bahkan diidealkan diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat..”
-Harmoko-
INDONESIA dikenal sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Menduduki peringkat ketiga setelah India dan Amerika Serikat, namun, indeks demokrasi tergolong rendah, bahkan cenderung merosot. Itulah sebabnya, atraksi demokrasi perlu diselaraskan kembali untuk menjaga marwah demokrasi itu sendiri.
Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2023 sebesar 5,53, turun dari tahun 2022 yang sebesar 6,71. Dengan skor tersebut,Indonesia masuk dalam kelompok flawed democracy alias demokrasi cacat.
Lantas bagaimana dengan tahun depan? Jawabnya cukup beragam. Sejumlah pengamat memprediksi skor akan merosot lagi, ini jika dikaitkan dengan penyelenggaraan pesta demokrasi, utamanya pilpres yang diwarnai gugatan adanya kecurangan.
Meski seluruh gugatan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyidangkan sengketa hasil pemilu - pilpres 2024, tidak berarti menghapus secara keseluruhan image buruk yang terlanjur sudah terbentuk.
Salah satu upaya memperbaiki indeks demokrasi dengan mengembalikan marwah demokrasi ke tempat yang lebih tinggi. Menyelaraskan marwah demokrasi sebagai sebuah tuntutan era kini dan ke depan, melalui atraksi politik yang dilakukan para elite politik dan pemerintahan.
Melalui kebijakan yang digulirkan oleh pemegang kekuasaan eksekutif untuk mewujudkan demokrasi kemakmuran dan kesejahteraan serta demokrasi berkeadilan.
Mengingat indikator indeks demokrasi tidak hanya mengenai proses penyelenggaraan pemilu.Terdapat indikator lainnya seperti fungsi pemerintahan, partisipasi politik, kebebasan sipil dan budaya politik.
Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yaitu pemerintahan yang terbuka dan akuntabel, merupakan wujud penerapan nilai-nilai demokrasi pada lembaga pemerintah. Ditambah lagi, adanya komitmen pemerintah menghapus pasal-pasal karet yang berpotensi mengancam hak – hak sipil, seperti kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Kualitas demokrasi juga akan tercermin dari penyelenggaraan pemilu ( pilpres, pileg dan pilkada) jurdil dan berintegritas. Jadi bukan sebatas menyasar kuantitas dan kualitas pemilih, tetapi mewajibkan adanya pemilih kritis, tidak ada jual beli suara. Tidak ada pula diskriminasi terhadap pemilih.
Menyongsong gelaran pilkada 27 November 2024, kita berharap kualitas demokrasi seperti ini dapat terwujud. Ini menjadi tantangan bagi kita semua, utamanya para elite politik dan pemerintahan yang baru.