“Selama masih terus menghakimi orang lain, mencari-cari aib dan kesalahan orang lain, tapi lupa atas aib diri sendiri, cermin masih rendahnya kemampuan mengontrol diri. Pertanda belum adanya sikap sareh lan sumeleh.."
-Harmoko-
Sering dikatakan hawa nafsu adalah musuh tersembunyi. Ada, tetapi tidak terlihat kasat mata karena bersemayam dalam diri kita. Acap pula diistilahkan musuh terbesar dalam hidup kita bukan datang dari luar.
Musuh berbahaya bukan berada di sekeliling kita, tetapi dalam diri kita. Musuh dimaksud adalah hawa nafsu dengan beragam latar belakangnya.
Musuh besar harus senantiasa ditaklukan, setidaknya dikendalikan. Jika tidak, akan semakin besar dan liar menyerang diri kita. Menyeret seseorang melanggar etika dan norma.
Seseorang melakukan korupsi misalnya, bukan karena tidak tahu bahwa korupsi itu melanggar hukum. Bukannya pelaku tidak tahu bahwa korupsi itu merugikan bangsa dan negara serta menyengsarakan rakyat, tetapi lebih karena tidak memiliki kemampuan mengendalikan hawa nafsu. Keinginan kuat dalam hatinya untuk mendapatkan uang berlimpah dengan cara mudah.
Keinginan yang kuat, kecintaan atas sesuatu yang menguasai hatinya. Kekuatan emosional yang sangat besar dalam diri seseorang menyangkut pemikiran, kehendak atau boleh jadi fantasi diri itulah makna hawa nafsu.
Dalam konteks korupsi adalah keinginan yang kuat dari seseorang untuk menumpuk harta benda secara instan dan gampangan. Ini didorong adanya sifat serakah karena terbuka peluang untuk melakukannya dengan kewenangan yang dimilikinya.
Disebut nafsu karena di dalamnya terdapat keinginan hati yang kuat untuk meraih sebanyak banyaknya kepuasan duniawi. Saking tingginya dorongan memenuhi hawa nafsu, kadang untuk mendapatkannya dengan menghalalkan segala cara. Meski jauh dari etika dan norma, jauh pula dari nilai nilai luhur bangsa kita, Pancasila, tetap saja diterabasnya.
Begitu juga acap tak terbantahkan dalam upaya meraih kekuasaan dan jabatan, meski melanggar etika dan norma.
Ini yang harus dicegah. Siapa yang mencegahnya? Jawabnya kita semua, sebagai pemilik nafsu perlu menata diri dengan tidak mengumbar kepuasaan duniawi.
Itulah perlunya kontrol diri (self control) terhadap hawa nafsu yang bermukim dalam diri yang berarti perlu adanya alat pengendali.
Sikap sumeleh menjadi satu upaya mengekang hawa nafsu. Sumeleh berasal dari kata seleh meletakkan atau melepaskan kehendak diri tanpa beban dan paksaan. Sering disebut juga nrimo ing pandum menerima apa adanya, mensyukuri apa yang didapatkan dengan penuh keikhlasan.
Memang tidak mudah untuk bersikap sumeleh karena terlebih dahulu harus melepaskan keakuan diri, membuang jauh sikap memaksakan kehendak pribadi.
Harus berani mengatakan tidak kepada diri sendiri. Berani pula mengatakan tidak untuk hal hal yang kita sukai.
Itulah sebabnya untuk menjadi sumeleh dibutuhkan sikap sareh kesabaran dan ketenangan batin menyikapi keadaan.
Dengan bersikap sumeleh dan sareh membuat hidup lebih tenang karena dengan penuh kesadaran telah melepaskan diri dari gejolak hawa nafsu. Tak ingin lagi jadi budaknya hawa nafsu. Setidaknya berusaha mengekang hawa nafsu, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom Kopi Pagi di media ini.
Sejatinya nafsu tidak selamanya terkait dengan hal hal yang buruk. Mengingat, menurut telaah para ahli tasawuf, nafsu memiliki tingkatan dari yang terburuk hingga yang terbaik.Tapi, dalam konteks tulisan di kolom ini, membatasi hawa nafsu terkait hal buruk, seperti sering kita saksikan dan acap menjadi bahasan dalam kehidupan sehari hari.
Hal buruk dimaksud, tak hanya sifat serakah yang memicu embrio korupsi, juga sifat mau menang sendiri, benar sendiri, sombong dan tinggi hati karena telah meraih kemenangan dan kesuksesan.
Dalam cakupan yang lebih luas lagi adalah perbuatan buruk lainnya yang tidak saja melanggar norma hukum, dan agama, juga etika dan adat budaya bangsa.
Di era sekarang ini, dalam momen Ramadan, pasca pemilu, semakin dibutuhkan kemampuan pengendalian diri terhadap hal-hal buruk seperti disebutkan tadi.
Meremehkan dan merendahkan orang lain, sementara menganggap dirinya paling baik, paling unggul, paling hebat , paling segalanya, memperlihatkan belum adanya niat pengendalian diri.
Menganggap orang lain sebagai penyebab kegagalan, mencerminkan belum adanya upaya mawas diri atas kegagalan diri sendiri.
Selama masih terus menghakimi orang lain, mencari cari aib dan kesalahan orang lain, tapi lupa atas aib diri sendiri, cermin masih rendahnya kemampuan mengontrol diri terhadap hawa nafsu. Pertanda belum adanya sikap sareh lan sumeleh. (Azisoko)