Kopi Pagi

Kopi Pagi Harmoko: Mengaktualkan Netralitas ASN

Senin 20 Nov 2023, 07:00 WIB

"Mendulang suara ASN sah –sah saja selama dukungan yang diberikan sesuai dengan hati nurani. Menjadi masalah, begitu dukungan yang diberikan, atas dasar pemaksaan, tekanan dan ancaman karir masa depan, dan lain-lain."
-Harmoko-

 
Netralitas menjadi topik yang ramai dibahas dan dikupas setiap jelang pemilu.

Tuntutan netralitas, lazimnya, tertuju kepada penyelenggara pemilu, badan pengawas pemilu, penjaga dan pengaman pemilu serta aparatur pemerintah. 

Netralitas hendaknya menjadi acuan juga bagi para pemantau dan pengamat pemilu serta semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu.

Termasuk  para pemimpin di semua tingkatan, mulai kepala desa, camat, bupati, wali kota hingga gubernur. 

Di level pusat adalah para menteri, kepala lembaga, komisi, badan dan institusi, lembaga negara lainnya hingga kepala negara.

Sejatinya netralitas, termasuk netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), bukanlah satu-satunya persoalan utama menjelang Pemilihan Umum 2024.

Masih banyak persoalan lain, setidaknya terdapat lima persoalan utama yang dapat mempengaruhi kredibilitas pelaksanaan pemilu.

Kelimanya adalah politik uang, politisasi SARA, ujaran kebencian, misinformasi, dan manipulasi atau sering disebut hoax.

Kelima persoalan ini menjadi penting untuk disikapi, karen tadi, selain akan mempengaruhi kredibilitas pemilu, juga dapat menyisakan gesekan, perseteruan dan perselisihan sebagai embrio lahirnya perpecahan, pasca kontestasi.

Hanya saja netralitas menjadi persoalan mendasar yang acap dibahas karena terkait langsung dengan kejujuran dan keadilan sebagai satu asas dalam pemilu yang wajib dipatuhi semua kontestan.

Sikap tidak netral berpotensi menghadirkan keberpihakan dan kecurangan dalam pelaksanaan pemilu.

Lebih-lebih jika sikap tidak netral itu dilakukan oleh pejabat daerah yang memiliki kekuasaan untuk mengkondisikan, mengarahkan dan mengerahkan dukungan ASN di daerahnya.

Cukup beralasan jika netralitas kepala daerah dan ASN kerap dikritisi.

Cukup beralasan juga munculnya kekhawatiran adanya netraitas semu mengingat ASN terkait dengan aturan main mengikuti perintah atasan dalam menjalankan tugas dan kewajiban.

Termasuk, kemungkinan adanya oknum ASN dilibatkan secara tersembunyi oleh pejabat tertentu pemenangan atau boleh jadi melibatkan diri sebagai bagian dari bargaining position pasca pencoblosan.

Di sisi lain, sistem pemerintahan yang sekarang membuat ASN kadang harus larut dalam desakan kepentingan karir masa depan. Posisi seorang ASN di sebuah pemerintahan(daerah), ditentukan oleh hak prerogatif kepala daerah yang pada saat itu memimpin.

Maknanya seorang kepala daerah memiliki simpul-simpul di ASN dan berjejaring hingga level bawah.

Melalui kewenangan yang dimilikinya, ASN bisa memfasilitasi, memobilisasi massa, dan tentu saja juga mengarahkan dukungan.

Menjadi sulit terbantahkan, jika masing-masing parpol berlomba menempatkan kadernya menjadi kepada daerah.

Selain sebuah prestasi, juga ada kepentingan politik masa depan.

Semakin berprestasi, selain dapat memajukan daerahnya, juga menjadi teladanan kerukunan dan kebersamaan di atas perbedaan.

Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kejujuran dalam berkompetisi.

Tampil menjadi teladan tanpa keberpihakan (netralitas) itulah harapan rakyat kepada kepala daerah.

Netralitas ASN kerap dikupas karena memang memiliki potensi meraih dukungan.

Tidak hanya jumlah ASN yang cukup besar, sebut saja sekitar 5 juta orang termasuk pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK ), belum lagi yang masih honorer.

ASN, utamanya di daerah-daerah juga memiliki pengaruh besar kepada lingkungan sekitarnya, karena status sosialnya, setidaknya kerabat dekatnya dalam menentukan dukungan dan pilihan politiknya.

Kalau saja setiap ASN mampu menarik 5 suara, maka sudah 25 juta calon pemilih atau lebih dari 10 persen dari 204 juta total pemilih di Indonesia.

Ini sah-sah saja selama dukungan yang diberikan sesuai dengan hati nurani dan pilihan sendiri. 

Menjadi masalah, begitu dukungan diberikan kepada salah satu paslon capres-cawapres atau caleg, atas dasar pemaksaan, tekanan dan ancaman karir masa depan, dan lain-lain.

Itulah sebabnya, netralitas ASN jelang pemilu perlu diaktualkan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Pernah mencuat pendapat yang menyatakan netralitas ASN akan tercipta dengan sendirinya jika hak pilihnya dalam pilkada dan pilpres ditiadakan sebagaimana anggota TNI dan Polri.

Dengan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis, diharapkan dapat lebih fokus menjalankan perannya sebagai ASN yang profesional.

Memberikan pelayanan terbaiknya kepada publik, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. (Azisoko)

Tags:
Kopi PagiKopi pagi HarmokoMengaktualkan Netralitas ASNpemilu 2024azisoko

Administrator

Reporter

Administrator

Editor