ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
JELANG pemilu, poster, baliho, spanduk dan sejenisnya yang bergambar caleg kian marak dipasang di setiap pertigaan, perempatan dan tempat-tempat strategis lainnya di kampung-kampung dan kompleks perumahan.
"Tapi dari sekian foto dan nama yang dipajang, saya nggak menemukan foto kalian," kata Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan Yudi.
“Nggak usah ngeledek, di antara kita nggak ada yang nyaleg. Modalnya besar, untuk kebutuhan sehari-hari saja kelimpungan,” jawab Yudi.
“Kalau nggak nyaleg, sekalian saja ikut pilkada tahun depan,” kata Heri lagi.
“Apalagi pilkada, modalnya lebih besar. Miliaran rupiah. Malah bisa belasan atau puluhan miliar untuk level gubernur,” kata Yudi.
“Karena modal besar, maka yang berkuasa dan menjadi pejabat adalah orang-orang berduit.Sementara orang-orang seperti kita, mana mungkin punya kekuasaan karena tak punya modal,” kata mas Bro.
“Soal modal kan bisa dicari,misalnya mencari sponsor politik,” kata Heri.
“Itu namanya belum juga menjabat sudah menggadaikan kekuasaan untuk mengembalikan modal yang didapat dari ngutang,” ujar mas Bro.
“Kekuasaan yang dimiliki mestinya digunakan untuk kepentingan rakyat, tetapi karena ingin balik modal, maka dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya. Rakyat yang sengsara,” kata Yudi.
“Itu kalau jadi pejabat, terpilih oleh rakyat. Kalau nggak, bagaimana coba cara mengembalikan utang. Apa mesti gadaikan rumah, jual kebun dan sawah,” ujar mas Bro.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT