Penyaliban, Berikut Ini Sejarah dan Maknanya

Minggu 09 Apr 2023, 11:00 WIB
Para Martir Nagasaki.

Para Martir Nagasaki.

POSKOTA.CO.ID - Penyaliban bermakna hukuman yang kejam.

Namun salib melambangkan simbol pengorbanan atas nama kasih bagi orang Kristen.

Peneliti budaya klasik dari Universitas Free State Afrika Selatan Louise Cilliers mengatakan,”Dari tiga cara paling brutal untuk mengeksekusi seseorang di zaman kuno, penyaliban dianggap yang terburuk. Kemudian pembakaran dan pemenggalan setelahnya.”

Profesor Fakultas Teologi Universitas Navarra di Spanyol Diego Perez Gondar memberitahukan,”Penyaliban adalah kombinasi absolut dari kekejaman dan tontonan untuk menanamkan teror sebanyak mungkin pada penduduk.”

Tubuh mereka mengalami kombinasi dari kekurangan nafas, kehilangan darah, dehidrasi, kegagalan pada berbagai organ, dan masalah lainnya.

Kematian para korban terjadi beberapa hari setelah disalibkan dalam banyak kasus di depan mata setiap orang yang lewat.

Metode Eksekusi

Diego Perez Gondar menyebutkan hukuman mati dengan penyulaan mirip dengan penyaliban.

Informasi tertua yang tersedia berasal dari berbagai dekorasi di istana Asiria di kawasan Mesopotamia Asia Barat.

"Di dinding ada lukisan yang menggambarkan pertempuran dan penaklukan dan cara para tahanan dieksekusi.”

Louise Cilliers memperkirakan teknik eksekusi tersebut kemungkinan berasal dari bangsa Asiria dan Babilonia. Dua peradaban besar tersebut pernah mendiami wilayah yang sekarang dikenal sebagai Timur Tengah. Dia juga percaya metode eksekusi tersebut digunakan bangsa Persia secara sistematis pada abad 6 SM.

Dia ikut menulis artikel tentang sejarah dan patologi penyaliban pada 2003 yang diterbitkan di South African Medical Journal.

Dia menjelaskan bangsa Persia melakukan eksekusi di pohon atau tiang bukan di salib.

"Menggabungkan hukuman mati dengan cemoohan terhadap terpidana dan kematian yang kejam sering terjadi. Salah satu tekniknya adalah dengan membiarkan mereka tergantung di pohon sehingga mati kekurangan nafas dan kelelahan," tambah Diego Perez Gondar.

Penyebaran

Alexander Agung pada abad 4 SM membawa metode hukuman ini ke negara-negara Mediterania timur.

Louise Cilliers menyebutkan Alexander Agung dan pasukannya mengepung Kota Tirus yang ada di Lebanon saat ini. Ketika akhirnya menaklukan kota tersebut lalu mereka mengeksekusi sekitar 2.000 penduduk.

Penerus Alexander Agung memperkenalkan hukuman ini ke Mesir dan Suriah.

Lalu ke Kartago, kota kuno yang besar di Afrika Utara, didirikan bangsa Fenisia (Phoenicia).

Bangsa Romawi mempelajari teknik eksekusi tersebut dan menyempurnakannya selama 500 tahun selama Perang Punik dari 264-146 SM.

Legiun Romawi kemudian mempraktikkan penyaliban ke mana pun mereka pergi.

Di sejumlah tempat, di mana mereka menerapkan bentuk hukuman mati ini, para penduduk setempat menerimanya.

Jenderal Jerman Arminius pada tahun 9 Masehi memerintahkan penyaliban tentara Romawi usai kemenangannya di Pertempuran Hutan Teutoburg. Ini merupakan kekalahan memalukan bagi orang Romawi di tangan suku Jermanik.

Ratu Inggris kuno Boudicca, juga dikenal sebagai Iceni, memimpin pemberontakan besar-besaran melawan penjajah Romawi dan menyalibkan sejumlah legiuner mereka pada tahun 60 Masehi.

Tanah Suci

Sejarawan Romawi berdarah Yahudi, Flavius Josephus, yang lahir di Yerusalem pada abad 1 Masehi, menuliskan jenis hukuman ini.

Dalam catatannya dia menyebutkan eksekusi massal sekitar tahun 88 SM pada masa pemerintahan Alexander Jannaeus (125 SM - 76 SM). Alexander Jannaeus memerintah atas bangsa Yahudi selama 27 tahun.

“Dia merayakan dengan selirnya di tempat yang mencolok. Dia memerintahkan penyaliban atas sekitar 800 orang Yahudi, serta pembunuhan anak dan istri mereka di depan mata orang-orang malang yang masih hidup,” tulis Flavius Josephus.

Bangsa Romawi

Bangsa Romawi adalah orang-orang yang memasukkan berbagai jenis bentuk salib ke dalam bentuk hukuman ini menurut Louise Cilliers. Termasuk yang berbentuk X.

Mereka menggunakan salib Latin yang terkenal atau Tau, salib berbentuk T, dalam banyak kasus.

“Salib ini bisa tinggi. tetapi yang rendah yang lebih umum,” ucap Louise Cilliers.

Salib tersebut terdiri dari tiang tegak, “stipes” dalam bahasa Latin, dan melintang “patibulum”.

Orang yang dieksekusi dipaksa untuk membawa balok horizontal dari salib ke tempat eksekusi.

“Jika orang itu tidak telanjang, pakaian mereka dilepas, dan mereka disuruh berbaring telentang dengan tangan terulur di sepanjang patibulum.”

Berlumuran Darah

Lengan mereka kemudian diikat ke balok horizontal. Ada juga yang pergelangan tangannya dipatok dengan paku ke balok tersebut.

Paku biasanya tidak ditambatkan di telapak tangan korban karena dapat merobek dan membuat terjatuh akibat tekanan berat badan. Paku dihujam ke tulang di pergelangan tangan dan lengan bawah sehingga dapat menahan tubuh pada tempatnya.

Paku bisa berukuran panjang hingga 18 sentimeter dan tebal satu sentimeter.

Ketika terhukum ditempelkan ke balok horizontal, dia diangkat dan dipasang ke tiang vertikal, yang sudah tertanam di tanah.

Kaki mereka lalu diikat atau dipaku pada tiang vertikal, baik itu di masing-masing kaki atau keduanya sekaligus di mana satu kaki berada di atas yang lain.

Satu paku ditancapkan melalui tulang metatarsal, bagian yang menghubungkan pergelangan ke jari-jari kaki di keduanya, sementara lutut ditekuk.

Rasa sakitnya tak terbayangkan.

"Banyak saraf akan terpengaruh," kata Diego Perez Gondar.

Kaki dipaksa untuk duduk tegak dan bernapas. Saat melakukannya akan ada banyak darah yang keluar, rasa sakit yang luar biasa, tetapi jika tidak maka akan mati lemas.

Penyaliban dalam banyak kasus adalah proses kematian lambat yang terjadi setelah kegagalan fungsi banyak organ.

Louise Cilliers menjelaskan hal tersebut dipicu kolapsnya sirkulasi akibat syok hipovolemik, korban mengalami penurunan volume darah atau hipovolemia yang diakibatkan kehilangan darah traumatis dan dehidrasi, tetapi mungkin terutama karena gagal napas.

Banyak yang meninggal karena lemas dan kurang nafas. Jam hingga hari yang penuh penderitaan

Kekejaman eksekusi ini diperparah oleh fakta bahwa banyak orang yang disalibkan membutuhkan waktu berhari-hari untuk mati. Meski mereka juga bisa meninggal dalam hitungan beberapa jam. Yesus dalam Alkitab dikatakan bertahan selama enam jam.

“Dalam beberapa kasus, apa yang dilakukan tentara untuk mempercepat kematian adalah memukul lutut orang dan mematahkan kaki mereka. Dengan cara ini terpidana tidak dapat mengangkat diri untuk bernapas menggunakan otot kaki mereka yang membuat mereka mati lebih cepat,” terang Diego Perez Gondar.

Tentara Romawi menggunakan cara ini kepada dua penjahat yang disalibkan di samping Yesus menurut catatan Alkitab.

Sementara Yesus sudah dipukuli dengan cambukan, semacam alat pecut dengan potongan logam dan tulang tajam di ujungnya. Dia telah kehilangan banyak darah.

“Bahkan ada orang yang mati hanya karena cambukan," tambah Diego Perez Gondar.

Musuh Terburuk

Diego Perez Gondar menyebutkan metode penyaliban bertujuan untuk mengekspos dan mempermalukan orang yang dihukum.

“Itu adalah kematian yang diperuntukkan bagi musuh terburuk untuk memperjelas bahwa orang Romawi tidak ingin melihat siapa pun melakukan kejahatan yang sama.”

Penyaliban sebagian besar diterapkan pada budak dan orang asing. Namun sangat jarang pada warga Romawi itu sendiri.

“Penyaliban dalam banyak kasus dikaitkan dengan pengkhianatan, pemberontakan militer, terorisme, dan beberapa kejahatan yang menyebabkan pertumpahan darah.”

Alasan tersebut sangat penting bagi Romawi untuk menyalibkan Yesus menurut Diego Perez Gondar.

“Tetapi juga mengejutkan bahwa mereka menganggapnya sebagai seseorang yang berbahaya,” lanjutnya.

“Bagi mereka yang tidak ingin dunia berubah, tidak hanya mencoba untuk mengakhiri hidup Yesus, tetapi dengan penyaliban, mereka ingin menegaskan bahwa pesannya tidak boleh dilanjutkan.”

Romawi Menghapuskan Penyaliban

Kaisar Romawi Konstantinus menghapuskan penyaliban pada abad keempat Masehi.

Dia menjadi Kaisar Romawi pertama yang memeluk agama Kristen.

Dia melegalkan agama dan para pengikutnya memperoleh hak istimewa yang hilang dari agama tradisional sehingga mengarah ke Kristenisasi Kekaisaran Romawi.

Penyaliban di Jepang

Namun praktik penyaliban juga berlangsung di tempat lain.

Jepang mempraktikan hukuman tersebut ketika memulai periode panjang penganiayaan terhadap orang Kristen.

Di bawah perintah Toyotomi Hideyoshi, lebih dikenal dengan nama Taikosama, sebanyak 26 orang disalibkan di depan massa pada 5 Februari 1597 di Bukit Nishizaka.

Peristiwa tersebut dikenang dalam periode sejarah Katolik di Jepang. Sementara kematian mereka diperingati sebagai “Para Martir Nagasaki”.

Saat ini Bukit Nishizaka ditetapkan sebagai Suaka Nasional Jepang.

Makna hukuman yang kejam melekat pada penyaliban pada masa lalu. Namun bagi orang Kristen salib melambangkan simbol pengorbanan demi nama kasih. ***

(BBC, Discover Nagasaki)

News Update