Jangan menebar keburukan orang lain, apalagi tanpa data dan bukti nyata. Dengan menebarkan keburukan orang lain, sejatinya membuka keburukan diri sendiri.. – Harmoko
DI dalam negara demokrasi dikenal istilah "freedom to speak" - kebebasan berbicara atau "freedom of speech" - kebebasan berpendapat atau kebebasan berkreasi, termasuk berkomunikasi dalam media sosial yang sekarang lagi digandrungi. Itu bentuk aktualisasi sebagaimana dimaksud pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat dan berserikat.
Seiring berjalannya waktu, kian terbukanya ruang untuk menyampaikan pendapat, muncul apa yang disebut "hate speech" dalam bentuk cyber bullying. Hate speech itu sendiri adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain. Meliputi berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, dan kewarganegaraan.
Belakangan "hate speech" – sering disebut sebagai ujaran kebencian ditengarai kian menjadi, tak jarang di antaranya hingga dibawa ke proses hukum. Tapi tak jarang juga, ada sebagian menilai terlalu berlebihan kepada mereka yang memperkarakan hate comment dalam media sosial dikaitkan ujaran kebencian hingga ke proses hukum.
Alasannya komen yang disampaikan masih tergolong wajar. Kalau gak mau mendapat hate comment, ya jangan bermain medsos. Pendapat ini ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya benar, jika dikaitkan dengan etika, adat dan budaya bangsa sebagaimana nilai-nilai luhur Pancasila.
Yang hendak saya disampaikan adalah jangan karena mengatasnamakan "freedom of speech", kemudian kebablasan menjadi hujatan. Padahal dalam adat budaya ketimuran, sebagaimana tercermin dalam butir-butir Pancasila, terdapat sikap sopan santun, ramah, toleran, dan tidak menghujat sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat.
Itulah gambaran sepintas era sekarang, di mana komunikasi sosial, baik di dunia maya maupun alam nyata, kadang diwarnai dengan candaan sosial, tak jarang mengulik privacy dengan menyelipkan keburukan. Berita miring, rekayasa isu hingga konten hoax, acap pula memenuhi ruang publik.
Pemilihan umum legislatif, Pilkada hingga Pilpres masih dua tahun lagi, tetapi nuansa tahun politik sudah kita rasakan. Tak hanya kian maraknya membangun pencitraan dari para calon yang masuk atau hendak masuk bursa Capres 2024 dengan menggalang dukungan relawan melalui deklarasi Capres.
Bukan hanya memasang baliho besar-besar, tapi juga terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk membantu warga yang terkena musibah. Membangun persepsi untuk meraih simpati melalui beragam aksi peduli itu sah-sah saja dilakukan. Ini kampanye positif mengerek elektabilitas kandidat. Tak jarang, menggulirkan kampanye negatif (negative campaign) dengan menonjolkan kekurangan-kekurangan dari lawan politik, tentu disertai data dan bukti tentang kegagalan kandidat selama mengemban amanat rakyat.
Yang tidak dibenarkan, jika melakukan kampanye hitam (black campaign) dengan melemparkan isu, gosip dan sejenisnya tanpa disertai bukti, tanpa data dan fakta. Cenderung menyebar fitnah dan hoax dengan tujuan membunuh karakter (character assassination) seseorang lawan politik.
Kampanye hoax dengan menyerang sisi moralitas, integritas,etika dan moral ini, ditengarai telah menjadi ladang bisnis cukup menjanjikan. Kampanye hoax ini bukan saja tindakan tidak terpuji, tak sesuai adat budaya bangsa, mencederai proses demokrasi, menebar kebencian yang mengancam persatuan dan kesatuan.
Karenanya aparat penegak hukum sudah semestinya turun tangan menyelesaikannya secara adil, tanpa melihat dari kelompok mana pelakunya.
Agama apa pun mengajarkan kepada umatnya tidak menebar kebencian, lebih-lebih tanpa dilandasi bukti nyata. Dengan menebarkan keburukan, sejatinya membuka keburukan diri sendiri, kata Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Pitutur luhur mengatakan " Ojo podho nyacat wong liyo, Ngilo githoke dewe’ -Jangan senang mencela orang lain, berkacalah pada tengkuk sendiri atau diri sendiri, jangan cuma pintar mencari buruknya orang lain, tapi tidak mau introspeksi diri.
Lihat juga video “Puluhan Warga Keracunan, Kebocoran Gas Ciptakan Semburan Setinggi 30 Meter dan Bau Menyengat”. (youtube/poskota tv)
Kita sadar, fitnah, menebar hoax adalah bagian yang tak terpisahkan dari strategi pembunuhan karakter. Ini merupakan kejahatan peradaban yang sudah melanda bangsa, setidaknya menggejala sejak Pilpres secara langsung.
Mari kita hentikan pembunuhan karakter. Ganti haluan, saatnya menebar kebaikan menjadi gerakan massal demi memantapkan persatuan dan kesatuan. (azisoko *)