ADVERTISEMENT

Polarisasi dan Rekonsiliasi

Kamis, 9 Juni 2022 06:56 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

STOP isu SARA sebagai jualan. Stop pula mengemas sentimen negatif yang berbasis identitas sosial keagamaan. Saatnya lebih fokus kepada visi, misi dan program kerja untuk meraih dukungan massa. -Harmoko-

KITA mengenal istilah koalisi, polarisasi, dan rekonsiliasi. Ketiganya beda makna, tetapi bisa menyatu dalam memaknai dinamika politik yang terjadi saat ini. Koalisi membangun kekuatan menyongsong gelaran pilpres sebuah keniscayaan. Terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dimotori Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN ) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah sebuah kebutuhan. Itulah fakta dan dinamika.

Saya berasumsi bahwa koalisi ini akan lebih mengkristal dengan penambahan jumlah anggota baru atau berkoalisi dengan poros baru, menyusul pengajuan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 2024.

Ada yang mengatakan bahwa KIB adalah koalisi cerdas, meski tak lepas dari plus dan minusnya. Penilaian ini tak lepas dari kekuatan yang ada di dalamnya, setidaknya telah memenuhi Presidential Threshold yang disyaratkan minimal 20 persen dari jumlah kursi di DPR, yakni 115 kursi. Sementara KIB memiliki 148 kursi ( Golkar 85, PAN 44 dan PPP 19 kursi).

KIB juga memadukan basis massa yang berbeda. Golkar yang nasionalis majemuk, PAN berbasis Muhammadiyah dan Islam modern, dan PPP dengan massa NU dan Islam tradisional.

Rasanya tidak sulit bagi KIB untuk memperbesar kekuatan mengingat jaringan politiknya cukup luas, bukankah para elite sejumlah parpol peserta pemilu sekarang, sebelumnya lahir di Partai Golkar. Menjadi minus, jika salah dalam memilih paslon capres-cawapres. Paslon yang tak sesuai harapan rakyat, utamanya basis massa dukungan KIB.

Lepas dari sejumlah kekurangan yang perlu diantisipasi, tetapi menjadi kewajiban bagi para elite untuk semakin memberi peluang bagi rakyat menentukan banyak pilihan melalui terbangunnya banyak kekuatan koalisi ataupun poros kekuatan baik melalui jalur parpol maupun non parpol. Semakin terbentuk banyak koalisi berujung kepada munculnya banyak paslon capres-cawapres, tentu akan semakin baik.

Melalui kolom Kopi Pagi ini (9 Desember 2021) pernah disampaikan bahwa dengan banyaknya paslon, maka masyarakat lebih memiliki banyak alternatif memilih pasangan calon pemimpin yang sesuai hati nuraninya. Calon pemimpin yang dapat memajukan bangsa dan negara mewujudkan kesejahteraan umum, kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial sebagaimana cita-cita negeri ini sejak didirikan.

Patut menjadi renungan bersama, dengan hanya dua paslon terbelahnya dua kubu semakin menggejala hingga ke akar rumput. Konflik yang timbul lebih runcing akibat polarisasi pemilih dalam dua kubu, dibandingkan ketika banyak calon dalam pemilihan.

Akibat dua kubu, polarisasi partisan tidak sebatas temporer, tetapi berakar pada pembelahan sosial yang sudah berlangsung cukup permanen, setidaknya sejak tahun 2014 hingga sekarang sulit terhindarkan. Masuknya Prabowo Subianto ke dalam pemerintahan Jokowi, tidak secara otomatis menghilangkan sepenuhnya residu polarisasi pasca-pemilu.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT