POSKOTA.CO.ID - Sejumlah saksi yang akan didengar keterangannya di kasus korupsi timah diingatkan majelis hakim agar tidak berbohong.
"Kami ingatkan ya supaya mengatakan yang sebenarnya apa diketahui, didengar, dan dilihat ya," kata Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu, 25 September 2024.
Hakim Rianto juga mengingatkan, ada sanksi pidana jika berbohong. "Kalau berbohong ada pidananya. Kami tidak mengancam ya, itu kata undang-undang," jelas Rianto.
Kali ini, dalam kasus korupsi timah tersebut, jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung menghadirkan 5 saksi untuk terdakwa Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi, Tabrani, Emil Emindra, dan MB Gunawan. Saksi itu adalah Eko Juniarto, Eli Kohari, Yulia, dan Agus Susanto.
Di persidangan, Eko Juniarto menerangkan pernah menghadiri pertemuan dengan para pemilik smelter di Jakarta. "Saya diajak bapak direktur operasi pada waktu itu bapak Alwin Albar pada tahun 2019," terang Eko.
"Ke mana saudara diajak," tanya jaksa, dan dijawab Eko, "Ke jakarta. Tepatnya di Restoran Sofia."
Menurut Eko, pertemuan pertama dihadiri oleh Dirut M Riza, Alwin, saksi, dan Nono Budi sebagai pengawas.
"Dari pihak smelter ada dari PT RBT seingat saya ada Pak Harvey, Reza, dari Venus ada Pak Aon, terus dari SBS seingat saya ada Pak Robert Hindarto, dari SIP ada Pak Awi," terangnya.
Di pertemuan itu, ia mengaku hanya disuruh membawa data-data produksi dari masing-masing smelter. "Juga tagihan dari 5 smelter ke PT Timah," kata Eko.
Pertemuan berikutnya di Februari 2019, April, Juni, dan Agustus. Pertemuan kedua, ujar Eko, ia diminta data-data juga. Yang hadir juga sama dengan di pertemuan pertama. "Apa yang dibahas," tanya jaksa.
"Yang dibahas terkait kapasitas produksi satu bulan berapa sudah tercapai belum untuk masing-masing smelter," jelas Eko.
Eko mengatakan, di pertemuan Juni atau ketiga dibahas terkait perubahan tarif. "Ada beberapa kali perubahan tarif, seingat saya yang pertama itu untuk tidak membayarkan biaya pemurnian karena waktu itu ada penurunan harga, tapi dikirimnya tetap logam timah murni," kata Eko.
Pertemuan Juli, lanjut Eko, membahas soal perubahan tarif lagi di mana terjadi penurunan 400 dolar AS dan biaya pemurnian tetap dibayarkan.
Di September 2019, kata Eko, ada penurunan tarif lagi sebesar 600 dolar AS menjadi untuk RBT 3.000 dan untuk lainnya 2.700 serta tarif pemurnian dibayarkan 255.
"Terakhir Juli diturunkan kembali 200 dolar AS untuk biaya peleburan dan biaya pemurnian tetap 255," ujar Eko.
Helena Lim Diminta Harvey Moeis Siapkan Rekening Terima Setoran Uang
Helena Lim dikenal sebagai crazy rich. Dugaan keterlibatan terdakwa Helena Lim di kasus mega timah ini, sebagaimana dijelaskan penuntut umum, bermula dari permintaan bantuan Harvey Moeis, suami artis Sandra Dewi, agar menyiapkan rekening pada PT Quantum Skyline Excyange.
Rekening tersebut diperlukan untuk menerima setoran dari CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Statindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.
Uang yang akan disetor tersebut merupakan hasil kesepakatan antara Tamron, Suwito Gunawan, Robert Indarto, dan Fandy Lingga sebagai pemilik smalter swasta tersebut untuk diserahkan sebesar 500-750 dolar AS per metrik ton yang dihitung dari jumlah hasil peleburan timah dengan PT Timah sebagai biaya pengamanan yang seolah-olah pemberian biaya CRS kepada Harvey Moeis.
Setelah masuk ke rekening PT Quantum Skyline Excyange, kemudian terdakwa Helena Lim menukarkan uang rupiah yang ke mata uang asing seperti dolar AS maupun dolar Singapura, yang selanjutnya diantar ke Harvey Moeis.
"Uang itu patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berupa hasil tindak pidana korupsi dalam kegiatan tata niaga komunitas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Bangka Belitung periode 2015-2022 yang mengakibatkan negara rugi Rp 300 triliun," terang JPU.
Atas permintaan Harvey Moeis, terdakwa, lanjut penuntut umum, melakukan transfer uang yang telah ditukarkan ke rekening Harvey Moeis dengan menuliskan tujuan transaksinya seolah-olah sebagai setoran modal usaha atau pembayaran hutang piutang.
"Padahal senyatanya tidak ada hubungan hutang piutang atau modal usaha antara terdakwa maupun dengan Harvey Moeis," ujar penuntut umum.
Selain itu, kata penuntut umum, terdakwa selaku pemilik PT Quantum Skyline Excyange menggunakan rekening orang lain atau perusahaan lain untuk menerima hasil atas transaksi penukaran di PT Quantum Skyline Excyange dari pemilik perusahaan smalter swasta.
"Transaksi penukaran uang itu tidak didukung persyaratan sesuai peraturan, tidak dilengkapi dengan identitas kependudukan, dan juga tidak ada keterangan transaksi di atas 25.000 dolar AS akan tetapi terdakwa tetap melakukan transaksi penukaran di PT Quantum Skyline Excyange," kata penuntut umum.
Juga terdakwa disebut penuntut umum tidak pernah melaporkan kepda Bank Indonesia maupun kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Atas perbuatannya, terdakwa Helena Lim didakwa Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 56 ke-2 KUHP Subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No 31 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan ke 2 Primer Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang TPPU Jo pasal 56 ke-1 KUHP Subsider Pasal 4 UU No 8 tahun 2010 Tentang TPPU Jo Pasal 56 ke-1 KUPH. (R. Sormin)
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.