QATAR, POSKOTA.CO.ID - Eksploitasi atas pekerja migran dicemaskan akan berlalu begitu saja.
Ini seiring dengan kesiapan Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia dalam waktu dekat.
Sementara permasalahan pekerja migran ini menjadi konsern sejumlah lembaga HAM. Demikian seperti dikutip dari Associated Press pada Senin (7/11/2022).
Sorotan atas penyelenggaraan Piala Dunia telah ikut mendorong pengawasan terhadap jutaan pekerja asing di negara Teluk Arab yang membangun stadion dan infrastruktur mutakhir lainnya. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Para pekerja asing ini menjadi staf hotel dan petugas kebersihan selama acara olahraga terbesar di dunia itu.
Qatar menghadapi kritik dunia internasional dengan melakukan sejumlah reformasi dalam beberapa tahun terakhir. Termasuk mengubah sistem yang mengikat pekerja dan majikan mereka serta upah minimum. Langkah ini dipuji PBB dan sejumlah kelompok HAM lainnya.
Tetapi para aktivis menyebutkan masih banyak pelanggaran yang terjadi. Antara lain upah yang tidak dibayar dan kondisi kerja yang berat. Para pekerja juga dilarang membentuk serikat pekerja atau melakukan mogok kerja sehingga tidak memberi banyak jalan untuk menuntut keadilan.
Para aktivis juga khawatir dengan nasib para pekerja asing ini setelah turnamen selama satu bulan itu berakhir Desember nanti dan para pengusaha berpotensi memangkas gaji mereka.
Qatar memastikan akan tetap melakukan reformasi tenaga kerja setelah Piala Dunia berakhir. Para emir yang berkuasa mengecam balik lembaga HAM yang mengabaikan perubahan yang telah dilakukan.
Qatar sebagaimana negara-negara Teluk lainnya yang bergantung pada jutaan pekerja asing yang kini merupakan mayoritas penduduk mereka dan hampir 95 persen dari angkatan kerja.
Qatar telah mengubah banyak sistem yang dikenal sebagai “kafala” yang mengikat pekerja dengan majikan mereka dan membuat pekerja hampir tidak mungkin berhenti atau berganti pekerjaan tanpa izin.
Sejumlah lembaga HAM mengatakan sebagian besar sistem itu masih bertahan dengan cara yang berbeda atau sifatnya lebih informal.
Para pekerja asing seringkali masih harus membayar biaya rekrutmen yang sangat tinggi. Hal ini membuat mereka sudah menanggung hutang bahkan sebelum tiba di negara itu untuk bekerja. Majikan juga masih diperkenankan membatalkan visa atau melaporkan mereka yang berhenti karena melarikan diri yang dikategorikan sebagai pelanggaran kriminal.
Equidem, lembaga hak-hak buruh yang berkantor di London, baru-baru ini mengeluarkan laporan panjang yang mendokumentasikan berbagai pelanggaran di lebih dari selusin hotel yang digunakan untuk Piala Dunia.
Laporan itu menyebutkan para pekerja dari Afrika dan Asia menghadapi pelecehan seksual, diskriminasi, pencurian gaji, risiko kesehatan, dan risiko keselamatan yang tinggi.
Peneliti Amnesty International yang berkantor di London, Ella Knight, mengatakan banyak petugas keamanan atau pekerja rumah tangga yang bekerja selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, tanpa hari libur. Meskipun undang-undang mengharuskan libur setidaknya satu hari per minggu.
“Impunitas masih menjadi persoalan besar, sehingga majikan atau pemberi kerja tidak pernah dimintai pertanggungjawaban, atau tidak dihukum dengan cara-cara supaya pelanggaran serupa tidak terulang lagi,” ujar Ella Knight.
Aturan hukum di Qatar melarang pekerja membentuk serikat pekerja atau melangsungkan protes. Pihak berwenang sangat membatasi akses media pada pekerja.
Polisi pada bulan Agustus lalu menahan setidaknya 60 pekerja yang mogok kerja karena upahnya tidak dibayar. Sementara dua wartawan Norwegia pada tahun 2021 lalu ditangkap ketika melaporkan kasus pekerja migran.
Amnesty International dan lembaga HAM lainnya sekarang mendesak badan sepak bola FIFA untuk menganggarkan dana $ 440 juta atau setara dengan total hadiah uang turnamen.
Dana tersebut bertujuan memberi kompensasi kepada pekerja. Permohonan ini didukung beberapa federasi. Badan sepak bola global juga mengatakan terbuka untuk gagasan tersebut.
Qatar telah menyiapkan dana sendiri pada 2018 untuk memberi kompensasi kepada pekerja yang terluka dalam pekerjaan atau yang tidak dibayar.
Atase Media Qatar di Amerika Serikat Ali Al Ansari mengatakan negaranya telah membayar sekitar $ 270 juta pada tahun kalender ini saja. Namun dia tidak berkomentar langsung tentang seruan untuk dana pemulihan yang lebih besar. ***