JAKARTA, POSKOTA. CO.ID - Masyarakat saat ini dapat dengan mudah mencari pasangan melalui aplikasi kencan, seiring berkembangnya terknologi digital.
Namun, bahaya penipuan berkedok asmara mengintai setiap pencari cinta di media sosial (medsos).
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Program Literasi Digital, mengadakan kegiatan Obral Obrol Literasi Digital (OOTD) bertajuk Jebakan Asmara Berujung Duka, Kamis (19/5/2022).
Kegiatan tersebut menghadirkan tiga narasumber, yaitu Kepala Subdivisi Digital At-Risks di SAFEnet Ellen Kusuma, Psikolog muda Wulansari Ardianingsih dan Kanit Subdit I Dittipidsiber Bareskrim Polri AKBP Rumi Untari.
Menurut Kepala Subdivisi Digital At-Risks di SAFEnet Ellen Kusuma, sebagian besar korban love scam alias penipuan berkedok asmara adalah perempuan.
Pelaku memanfaatkan situasi perempuan dengan segala bentuk bujuk rayu untuk menuruti segala keinginannya.
"Ini (love scam) modus kekerasan gender online. Memanfaatkan situasi perempuan mendapat kasih sayang, sebenarnya bukan kasih sayang tulus. Tapi, kondisi seseorang mau menuruti keinginan para pelaku," kata Ellen dalam YouTube Siberkreasi dilihat, Jumat (20/5/2022).
Menurutnya, love scam bahkan bisa berujung tindak pidana yang dilakukan secara online. Ketika perempuan sudah dikendalikan, maka pelaku melancarkan aksinya dengan memeras finansial korban tersebut.
"Pelakunya bukan satu orang. mereka (korban) tak hanya dieksploitasi secara emosional atau finansial, tapi kemudian mendapat kekerasan berlanjut. Korban dikondisikan menjadi budak cinta," ujar Ellen.
Pesatnya perkembangan teknologi digital, tanpa dibarengi suatu literasi membuat terjerumus ke dalam kejahatan siber. Adapun ciri-ciri pelaku love scam ialah menggunakan identitas palsu, banyak alasan ketika diajak ketemu.
"Kalau identitas dan tingkah lakunya tak sesuai itu sudah dicurigai. Juga kalau foto kita cariin ternyata bukan foto dia atau comot foto orang. Kalau sudah berkomunikasi minta duit, minjem duit. Hentikan komunikasinya. Itu lah awal mula pemerasan," imbuhnya.
Psikolog muda Wulansari Ardianingsih menyadari, pada usia tertentu kebutuhan emosial seseorang untuk diterima maupun kebutuhan kasih sayang menjadi hal paling penting. Sehingga mudah terjebak tipu muslihat pelaku love scame.
"Ketika kebutuhan itu dipenuhi orang asing. Apalagi kalau jatuh cinta otak bagian berpikir kritisnya tak bisa bekerja optimal, akhirnya kita melakukan tindakan tidak rasional. Misalnya, transfer uang, kok mau dimanupilasi," jelas Wulan.
Merespons hal tersebut, Kanit Subdit I Dittipidsiber Bareskrim Polri AKBP Rumi Untari menyatakan, pihaknya tentu dapat mengungkap tindak kekerasan gender online tersebut. Pelaku biasanya terbagi menjadi kelompok kecil.
"Bisa sekali (menangkap sindikat), permasalahannya sindikat itu tak hanya satu. Mereka terpisah-pisah, tidak menjadi kelompok besar. Ada juga yang main sendiri atau maksimal tiga orang," tutur Rumi.
Para pelaku memiliki tugas dan peran masing-masing, ada yang melancarkan rayuan kepada korban, ada yang berupaya mengelabuinya untuk melakukan transfer uang dan melakukan eksekusi kejahatan tersebut.
"Kejahatan ini menular ke orang atau pelaku lain. Ketika melihat betapa mudahnya, mendapat uang tidak perlu susah payah, kalau dibandingkan kejahatan konvesional. Seperti mencuri atau merampok," tutup Rumi. (Pandi)