Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah berarti pula tidak meninggalkan atau menyingkirkan peran pemimpin bangsa. Siapapun dia, sebagai pemimpin bangsa, telah berjasa bagi negeri kita. - Harmoko
PARA pendiri negeri berpesan kepada generasi penerus, siapa pun dia yang akan mengisi kemerdekaan untuk tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri. Jas Merah (Jangan sekali-kali Meninggalkan sejarah), itulah pidato fenomenal yang disampaikan Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1966.
Ada yang mengatakan Jas Merah itu singkatan dari Jangan sekali-kali melupakan sejarah, tetapi sejumlah sejarawan meluruskan Jas Merah itu singkatan dari Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
Ya, memang kata “melupakan” dan “meninggalkan” adalah beda makna. Ini yang perlu diluruskan dalam sejarah bangsa Indonesia, termasuk istilah “Jas Merah” sebagai judul pidato Bung Karno bertepatan dengan HUT ke-21 Republik Indonesia, siapa yang memberikan judul tersebut?
Sejarah terbuka untuk koreksi ataupun pelurusan jika terdapat “novum” atau temuan baru dari para ahli, sejarawan yang dilengkapi bukti otentik, diuji kebenarannya secara ilmiah.
Seperti halnya sejarah Majapahit-Kerajaan Sunda, terkait Perang Bubat yang hingga kini masih kontroversi hingga menyisakan “konflik budaya” antara masyarakat Jawa dan Sunda.
Kajian para ahli, Perang Bubat diragukan kebenarannya karena sangat sedikit sumbernya, hanya mengandalkan cerita dari anak manusia. Sumber yang dipakai hanyalah catatan atau naskah Pararaton dan Kidung Sunda yang masih diragukan keasliannya.
Di sisi lain, Perang Bubat terkait dengan cerita lamaran dan pernikahan, bertentangan dengan tradisi masyarakat Jawa dan Sunda, serta masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Boleh jadi, diciptakan oleh kelompok yang berkepentingan, mengeruk keuntungan dengan mengadu domba masyarakat Jawa dan Sunda, dengan terus menerus melanggengkan adanya konflik budaya tersebut.
Pelurusan sejarah diperlukan demi perbaikan dan kemajuan bangsa, tetapi yang hendak saya katakan, pelurusan bukan berarti menghilangkan fakta yang telah ada, kemudian menggantinya dengan selera penguasa.
Melupakan atau meninggalkan sejarah saja tidak boleh dilakukan, apalagi menyingkirkan, lebih-lebih menghapuskan serta membelokkan demi keuntungan seseorang atau kelompok tertentu. Ini bukan saja, tak sejalan dengan cita-cita para pendiri negeri, tidak sesuai dengan jati diri bangsa, juga melanggar konstitusi negeri ini.
Yang sedang menjadi pembahasan sekarang ini soal Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menghilangkan peran Soeharto, selain memunculkan polemik, juga memantik kontroversi. Ada kesan lebih menonjolkan peran yang sedang berkuasa, sementara mengurangi peran kalau tidak disebut menghapus peran orang yang tidak lagi berkuasa.
Lepas dari sejumlah argumentasi yang dibenarkan, nama Overste Soeharto tidak disebut dalam diktum, misalnya sebagai pelaksana atau memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Padahal, Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, dibuat dengan menimbang peristiwa Serangan Umum 1 Maret.
Sejarawan menilai dalam Keppres tersebut diktumnya kurang solid, beda dengan Keppres Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, sangat solid diktumnya.
Hadirnya kedua Keppres tersebut sangat baik dengan tujuan menyelesaikan kontroversi. Tetapi akan lebih baik jika dengan keluarnya Keppres tidak menimbulkan kontroversi.
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, bisa diartikan tidak menghilangkan peran orang yang telah berjasa membangun bangsa. Siapa pun orangnya, dari partai apapun, dari latar belakang manapun, seorang pemimpin bangsa, pasti telah berjasa kepada negeri ini.
Ingat kita ada karena telah ada orang tua kita. Orang tua kita ada karena telah ada kakek nenek kita dan seterusnya. Jangan lupakan itu, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Soal baik dan buruknya orang tua kita, para pemimpin kita baik yang masih ada dan telah tiada, hendaknya menjadi pembelajaran bagi generasi muda dan generasi-generasi berikutnya.
Yang buruk kita tinggalkan, yang baik kita petik dan matangkan sebagai bekal menorehkan sejarah yang baik untuk bangsa ini menuju Indonesia berdaulat.
Sebagaimana pitutur luhur mengajarkan “Memayu hayuning bawono, ambrasto dur hangkoro”-manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Ini demi keselamatan dan keamanan kita semua. (Azisoko*)