TAK kalah pentingnya mandiri dalam mekanisme pasar secara berkeadilan dengan persaingan sehat, bukan hadirnya penguasaan oligarki dan monopoli.– Harmoko
JIKA ditanyakan apakah negara kita sudah mandiri secara ekonomi? Masyarakat akan menjawab “Belum”. Bahkan para pakar mengatakan, di bidang pangan saja belum mandiri , jauh dari daulat, lebih-lebih di bidang ekonomi secara keseluruhan.
Itu bukan kritikan, bukan pula sindiran, tetapi kenyataan yang dirasakan rakyat Indonesia. Pemerintah pun legowo mengaku bahwa masih proses menuju kemandirian di bidang ekonomi.
Tak berlebihan jika pada Pilpres tahun 2014, kedua pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Jokowi-JK mengusung soal kemandirian dalam visi-misinya.
Kedua paslon ini, seolah menggugat kondisi negerinya yang masih jauh dari kemandirian. Karenanya dalam visi misinya kedua paslon tadi menekankan pentingnya kedaulatan, kemandirian dan keberdikarian dalam pembangunan guna menciptakan masyarakat adil makmur, bermartabat dan berkepribadian Indonesia.
Tak kurang, kedua paslon menyitir pernyataan Bung Karno tentang konsep Trisakti yang dicetuskan pada tahun 1963 yakni Berdaulat di Bidang Politik, Berdikari di Bidang Ekonomi dan Berkepribadian dalam budaya. Gagasan brilian dari sang “Founding Fathers”, yang belum menjadi kenyataan itulah yang nantinya hendak diwujudkan.
Ini dapat dipahami karena ketidakmampuan sebuah negara berdikari secara ekonomi akan mengembalikan seperti pada masa penjajahan oleh bangsa lain. Dalam konteks kekinian, bukan penjajahan secara fisik, tetapi dijajah secara ekonomi yang efeknya tidak kalah mengenaskan dibandingkan dijajah secara fisik.
Itulah sebabnya kerja sama dengan negara lain, bantuan asing perlu dikaji, jika pada akhirnya akan merusak kedaulatan, tak hanya di bidang politik dan ekonomi, juga kekayaan alam dan kebudayaan.
Berdikari bukan berarti anti bantuan asing, bukan pula alergi kerjasama dengan asing. Tetapi, bagaimana kerja sama dan bantuan itu tidak menjerat, tidak memasukkan rakyat Indonesia ke dalam lubang kesengsaraan yang semakin dalam, karena sektor ekonomi, sumber daya alam dikuasai oleh asing, sementara kita hanya menikmati ampasnya. Kalimat seperti pula yang sering disampaikan Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan menyikapi kerja sama dengan asing.
Kita masih ingat kalimat “To Hell with your Aid!,” yang diucapkan Presiden Soekarno ketika menolak bantuan yang ditawarkan Presiden AS, Dwight D Eisenhower, karena dinilai mendikte, dapat merusak kedaulatan dan menghambat kemandirian.
Maknanya, yang ditolak bukan bantuan dan kerja sama dengan asing, tetapi ketergantungan kepada imperialisme asing dengan segala slogannya. Indonesia, sejak awal membuka seluas mungkin kerja sama dengan negara lain, tentu yang sama sederajat dan saling menguntungkan.